Senin, 09 Mei 2016

Memaknai Yesus lewat pemakaian Ulos dalam Adat suku Karo

Nama                          : Andi Satria Putranta Barus
Nim                             : 10.01.679
Tingkat/ Jurusan       : IVC / Teologia
Mata Kuliah              : Teologia Kontekstual
Dosen                          : Pdt. Dr. Jan Yahaman Damanik                         
Memaknai Yesus lewat pemakaian Ulos dalam Adat suku Karo
I.                   Pendahuluan
Pemaknaan Yesus Kristus yaitu tidak terlepas karya penyelamatan, sehingga pada saat ini kita akan sampai kepada pemaknaan Yesus lewat pemakaian Ulos didalam Adat. Dimana pada kesempatan kali ini kita akan melihat makna dari Ulos orang karo yang dikenal dengan Uis, sehingga dari makna Uis ini kita juga mendapat pemaknaan Yesus kristus. Maka melalui sajian ini kita akan membahas serta mendalaminya dengan Judul “Memaknai Yesus lewat pemakaian Uis dalam Adat suku Karo”, semogga sajian ini menambah wawasan kita.
II.                Pembahasan
2.1.Sekilas mengenai Adat Istiadat Karo
Adat adalah salah satu unsur bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dalam arti luas adalah merupakan usaha dari hasil pemikiran makhluk Tuhan yang bernama manusia. Buah usaha pemikiran itu melahirkan berbagai karya, baik  berwujud nyata maupun tidak, yang dikenal dengan nama kebudayaan. Dari uraian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa bagian–bagian terpenting dari kebudayaan dapat disebut adalah:
·         Alat atau keperluan hidup seperti: sandang, pangan, Rumah
·         Susunan masyarakat, tata cara hidup, adat istiadat
·         Bahasa
·         Ilmu pengetahuan
·         Kesenian
·         Kepercayaan
·         Dan system mata pencarian.[1]
Sehingga didalam adat karo terdapat juga nilai-nilai yang mengatur mengenai manusia, disusun dan dipraktekkan. Karena adat adalah hukum-hukum pengaturan sikap hidup dan perbuatan didalam semua hubungan seorang dengan sesamanya satu suku bangsa,[2] dan juga menghubungkan orang hidup yang kelihatan dengan orang mati yang hidupnya tidak kelihatan, yang juga disebut orang karo tendi (roh).[3]
Pada tahun 1986, orang karo diperkirakan berjumlah ± 1 juta jiwa, sejak keberadaannya jelas memiliki adat istiadat. Sebagaimana juga dengan suku-suku lain dari bangsa Indonesia, pada umumnya adat istiadat mereka tidak tertulis, namun dijadikan sebagai anutan secara kesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya, demikian jugalah dengan suku karo adat istiadat mereka tidak tertulis. Ia merupakan warisan dari generasi ke generasi berikutnya dan dipatuhi oleh anggota-anggota masyarakat Karo.
Salah satu aspek dari adat istiadat itu yang berjalan secara baik atau sebagaimana adanya, artinya berfungsi secara normal, ialah dalam hal system kekerabatan/ kekeluargaan, tergambar dari susunan masyarakat karo: Merga silima, tutur siwaluh, dalam pola rakut si telu (sama dengan Daliken Si Telu, Iket Si Telu, Sangkep Si Telu) yang terdiri dari: Senina/sembuyak/sukut, anak beru, dan kalimbubu.[4] Dan didalam adat karo memiliki adat istiadat pada masyarakat karo secara umum dapat dikatakan bertumpu kepada:
1.      Lembaga adat perkawinan
2.      Acara dan upacara kematian dan penguburan
3.      Upacara mendirikan dan memasuki rumah (adat)
4.      Upacara-upacara adat dan kepercayaan, Seperti: Ngembah manok mburMbaba anak ku Lau, Mbaba anak baru tubuh ku juma, Releng tendi, perselihi, mulahi manok, Erpangir, Mbere buah uta-uta, Si cocon ngelegi lau udan, Perumah begu/ tendi, Nengget, Kerja tahun.
5.       Adat memantangkan, seperti: Rebu ngerana, kawin, dll.
6.      Cerita adat, dan nasehat berupa: pantun, puisi, lagu, dll.[5]

2.2.Pengertian Uis dalam adat Karo
Kain adat tradisional Karo (Uis Adat Karo) merupakan pakaian adat yang digunakan dalam kegiatan budaya suku karo maupun dalam kehidupan sehari-hari. Uis Karo memiliki perbedaan didalam warna, bentuk dan motif. Bahwa perbedaan tersebut berkaitan dengan waktu penggunaannya pada pelaksanaan kegiatan upacara adat karo. Orang Karo memahami bahwa Uis Karo adalah salah satu benda/ perlengkapan yang dipergunakan didalam upacara adat Karo. Sehingga mereka memahami bahwa setiap Uis yang akan dipergunakan/ dipakai mempunyai tempat dan arti yang tersendiri pada sipemakai.[6]
Pada umumnya Uis Adat Karo yang dibuat dari bahan kapas, dipintal dan ditenun secara manual dan menggunakan zat pewarna alami (tidak menggunakan bahan kimia pabrikan). Namun ada juga beberapa diantaranya menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan pewarna alami dan dijadikan kain adat Karo. Beberapa diantara Uis Adat Karo tersebut sudah langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya digunakan dalam kegiatan acara budaya yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.[7]
2.3. Jenis-jenis Uis Adat Karo
Uis Adat Karo, antara lain: Uis Arinteneng, Uis Batu Jala, Uis Beka Buluh, Uis Gara-gara & Gara-gara pakai benang emas, Uis Gatip Cukcak, Uis Gatip Gewang, Uis Gobar Dibata, Uis Jongkit pakai benang emas, Uis Jujung-jujungen, Uis Julu, Uis Kelam-kelam, Uis Nipes, Uis Nipes Mangiring, Uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Ragi Mbacang, Uis pementing, Uis Perembah, Uis Teba.[8]
2.4. Makna Uis Adat Karo
Uis adalah salah satu hasil tenun dari suku adat karo, menurut Tridah Bangun, hanya sebagian kecil saja dari wanita karo yang dapat mengerjakan penenunan kain adat mulai dari yang halus sampai kepada yang kasar. Pekerjaan tersebut memang cukup sulit, khususnya dalam proses pembuatan benang dan penenunannya yang memakan waktu cukup lama. Dan setiap kain adat karo yang disebut Uis karo, memiliki makna, fungsi pengunaan. [9]Diantaranya:
1.      Uis Arinteneng
Warnanya hitam agak pekat, karena kain ini dibuat dari benang kapas yang dicelupkan dengan sejenis bahan yang warnanya hitam. Uis ini digunakan didalam acara adat pesta perkawinan yaitu pada saat waktu emas kawin diserahkan kain ini dipakai sebagai alas pinggan pasu (Piring), yang bentuknya cekung dan lebih besar dari piring biasa, warna piring tersebut berwarna putih biasa. Dimana Uis Arinteneng ini digunakan sebagai alas piring Pinggan pasu yang terdapat Emas kawin diatas pring tersebut.[10] Pelaksanaannya pada saat “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), yang bermakna untuk memanggil roh, untuk “lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi disaat nantinya mereka memiliki keturunan dan alas bibit padi sebagai sumber kehidupan mereka.[11] Didalam upacara Njujung beras piher, Uis ini di pakai dengan makna “Tenang tendi i rumah (Ketentraman).[12]
2.      Uis Batu Jala
Uis ini digunakan untuk tudung bagi anak gadis pada pesta “guro-guro aron”. Boleh juga dipakai laki-laki sebagai sarung, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis rambu-rambu dan uis kelam-kelam.[13]
3.      Uis Beka Buluh
Uis Beka Buluh memiliki ciri Gembira, Tegas dan Elegan, Kain Adat ini merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra Karo. Dengan warna dasar kainnya merah cerah, dibagian tengah terdapat garis-garis yang berwarna kuning, ungu, putih, dan juga pada bagian tepi terdapat motif-motif karo yang digunakan dengan benang berwarna emas Ukuran : 166 x 86 Cm. Pada saat Pesta Adat Kain ini digunakan kepada kaum pria Karo. Dimana kain ini diposisikan pada bagian kepala pria yang sering disebut bulang-bulang (Penutup kepala/ Topi) sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut diselenggarakan, dan pada posisi bahunya yang juga sering disebut cekok-cekok (Penghias baju).[14]
Uis ini dipakai pada saat Pesta Perkawinan, Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut) Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo yang masih muda diberkati/ didoakan oleh Kalimbubu (Paman, Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) agar putra tersebut berhasil dalam hidupnya. Pada Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh. Kain ini juga biasa diletakan diatas tudung wanita, dikarenakan Uis ini memiliki corak yang indah dan Uis ini memiliki posisi yang tinggi Karena letaknya pada pada bagian atas seperti kepala dan bahu yang melambangkan kepemimpinan.[15]
4.      Uis Gara-gara & Gara-gara pakai benang emas
Warna kain ini ialah merah tua dan ada juga yang bergaris-garis kecil dengan warna garis putih di bagian tengah, dan ditepian kain terdapat juga rumbai-rumbai dan sebagian kain seperti ini mengunakan benang berwarna emas, kain ini berjenis kain yang tebal dan pada saat sekarang banyak sekali motif-motif yang indah. Kain ini sering digunakan orang karo pada kesehariannya (kain yang tidak memiliki benang yang berwarna emas), yang tidak  memakai beang  emas biasanya dipakai oleh wanita-wanita  sehari-hari  sebagai penutup  kepala  di desa dan pada upacara-upacara adat Karo (yang memiliki benang yang berwarna emas), sebagai  tudung oleh wanita, dengan bentuknya  lebih pendek  dari tudung  teger limpek. Proses  pembuatannya  juga sama dengan  teger  limpek  hanya ini  lebih sederhana.[16]
5.      Uis Gatip Cukcak
Warnanya hitam dan terdapat corak bintik-bintik pada bagian tenggah, dan pada tepian kain terdapat warna hitam pekat dan pada ujungnya terdapat rumbai-rumbai. Jenis kain ini agak tebal hingga orang karo menyebutnya dengan Uis kapal (kain tebal). Kain ini digunakan sebagai alat pelengkap pakaian (Ose) laki-laki, kain ini dipakai pada bagian bawah laki-laki yang disebut gonje disaat acara adat, seperti: acara pesta perkawinan, memasuki rumah baru, guro-guro Aron (Pesta muda-mudi). Dimana Uis Gatip Jongkit menunjukkan karakter kuat dan perkasa.
6.      Uis Gatip Gewang
Uis ini digunakan untuk menggendong bayi perempuan dan “abit” (sarung) laki-laki Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini tidak pakai benang emas.[17]
7.      Uis Gobar Dibata
Uis ini digunakan untuk upacara kepercayaan, seperti “Uis Jinujung”, “berlangir” dan “ngelandekken galuh”.[18]
8.      Uis Jongkit pakai benang emas
Uis ini berwarna dan bahannya sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit ditengah-tengah kain memakai benang emas yang motifnya melintang-melintang pada kain tersebut hingga warna dan bentuknya kelihatan lebih cerah. Kain ini sering digunakan setiap upacara-upacara Adat Karo.[19]
9.      Uis Jujung-jujungen
Uis ini berwarnanya merah, bersulamkan benang emas dan terdapat rumbai-rumbai pada ujung kain. Kain ini berbeda dengan kain lain, karena kain ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari kain lainya. Kain ini sering digunakan oleh kaum wanita yang digunakan sebagai hiasan tudung, Kain ini dipakai pada saat acara pesta adat perkawinan.[20]
10.  Uis Julu
Uis ini tebal seperti Uis Jongkit/ Gatip, kain ini berwarna hitam kebirua-biruan, dan pada bagian ujung terdapat rumbai-rumbai. Kain yang ini sering sekali digunakan disetiap acara pada kaum wanita diletakkan pada bagian pinggang sebagai sarung yang dikenal dengan sebutan orang karo yaitu abit. Untuk sarung, “maneh-maneh”, untuk mengganti pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.[21]
11.  Uis Kelam-kelam
Warnanya hitam pekat dan bahan kainya lebih tipis dan kain ini tidak memiliki motif (Polos). Meskipun kain ini tipis, kain ini memiliki sifat yang lebih keras. Kain ini sering digunakan pada kaum wanita, kain ini digunakan para wanita sebagai bahan untuk membuat Tudung (Bagian kepala), dengan bentuk yang sangat unik dan menarik hingga tidak semua orang dapat membuat tudung. Uis kelam-kelam ini juga digunakan untuk tudung orang tua, untuk “morah-morah” (kado untuk laki-laki), dan boleh juga dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan rambu-rambu.[22]
12.  Uis Nipes
Uis Nipes ini digunakan untuk tudung, “maneh-maneh” (kado untuk perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat. Kain ini  jenisnya  lebih tipis  dari kain - kain lainnya   dan bermacam- macam  motif  dan warnanya (merah,  coklat, hijau, ungu) dan sebagainya . Pemakaian kain ini sering dipakai  Sebagai selendang  bagi wanita. Masih banyak lagi  nama- nama  kain yang  yang tidak disebuitkan, namun kain-kain diataslah yang selalu dipergunakan pada upacara-upacara  adat. Macam-macam uis Nipes, diantaranya:
·         Uis Nipes Mangiring
Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita. Yang bermakna rasa berdukacita.[23]
·         Uis Nipes Padang Rusak
Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.[24]
·         Uis Nipes Ragi Mbacang/ Ragi Barat
Kain ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian. Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah (sebagai kain sarung) untuk kegiatan pesta sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.[25]
13.  Uis pementing
Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting) pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain sarung.[26]
14.  Uis Perembah
Untuk menggendong bayi dan Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh Kalimbubu seiring doa dan berkat agar anak tersebut sehat-sehat, cepat besar dan menjadi orang sukses dalam hidupnya kelak.[27]
15.  Uis Teba
Warnanya yang kebiru-biruan bergaris putih, dan pada bagian tepi terdapat warna hitam, dan pada ujung kain terdapat rumbai-rumbai. Kain ini digunakan oleh para kaum wanita yang sudah tua dan kain ini juga dipakai sebagai maneh-maneh (tanda mata) pada acara adat karo disaat meninggal dunia.[28]
2.5. Makna Uis (kain adat) Karo
a. Untuk laki-laki
Bulang-bulang beka buluh, bulang-bulang beka buluh ini bergaris-garis warna putih dan bergaris-garis berwarna merah. Garis-garis warna putih menggambarkan:  ”gambaran anak raja yang mampu mengambil keputusan yang bijak dan hati yang baik”, garis-garis warna merah mengatakan yang benar mempertahankan hak, dalam memperjuangkan kepentingan umum dengan tidak membedakan status sosial.
Uis beka buluh yang diletakkan di pundak mengatakan bahwa hari ini berubah ali-ali jadi cengkok-cengkok, gambaran berkat Tuhan yang menyertai kehidupan juga setiap langkah kehidupan tetap sehat, damai sejahtera, dan hati orang yang jahat tidak sampai kepada diri kita, bukan bencana yang datang kepada kita.
Diberikan sarung ”Uis Gatip Jongkiten” berwarna hitam, supaya yang memakainya mengetahui pantang mereha (hal-hal yang tidak boleh dilakukan) di dalam kehidupan ini. Contoh seorang anak beru menghadap kalimbubu untuk menghindari mana tahu resleting terbuka pasti malu jika ini terjadi di depan kalimbubu, sehinga disarungkan Uis Gatip Jonggiten.
Diletakkan sarung di pundak, artinya supaya dia mengaku kepada sangkep geluhnya (senina, kalimbubu, anak beru) supaya satu pengharapan dalam Merga Silima, karena itu dia harus mengendong, menjinjing, menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dalam kehidupan.
Pisau, melambangkan bahwa dia dengan saudara (senina)nya bisa menjadi seperti pisau yang tajam bagi kalimbubu dalam mengerjakan pekerjaan-pekerjaan adat.
Ciken (tongkat) melambangkan memberikan kemampuan dalam hidup ini sampai kepada hidup cawir metua.[29] Menjadi tua-tua pisang yaitu semakin tua semakin kuning, tua-tua tebu semakin tua semakin manis.
b. Untuk Perempuan
Dipasangkan tudung berwarna hitam, bentuknya segi tiga, artinya semua Sangkep Geluh orang Karo, senina, anak beru, kalimbubu, semua harus sama di depan mata, saling menghargai, semua saling menghargai supaya tidak ada kesenjangan sosial dalam kehidupan ini. Tetap teguh dalam kehidupan supaya hidup damai sejahtera.  
Diberikan gonje (sarung, busana pria yang panjang), disebut uis pengalkal (tabah). Demikianlah supaya seorang istri ngalkal (tabah)  berpikir,  dibelah tidak pecah, dipotong tidak putus dengan kata lain dia harus teguh berpikir dalam kejujuran. Lagi pula pada hari-hari yang akan datang mampu menjaga pantangan-pantangan dalam kehidupan ini.
Diberikan kadang-kadang (sehelai kain yang digantungkan bebas di atas bahu). Biasanya langge-langge ragi barat artinya orang yang menghias diri terampil menampilkan diri beserta sangkep geluh. Ragi Barat, maknanya bahwa semua pekerjaan harus diselesaikan hingga petik mejile (baik/sempurna), maka layaklah upah diterima. Barat maknanya pekerjaan yang dikerjakan dengan baik dan ragi artinya  lakon tandang guna, yang tidak berguna menjadi berguna seperti yang diharapkan.[30]
Kampil menandakan dan memperlihatkan kebijaksanaan dan kehormatan bagi sangkep geluh dan halayak ramai. Jadi kampil adalah hal utama sebagai alat menghadap kalimbubu di semua tahapan kehidupan.[31] Contoh, acara Penabalan Marga dan Beru (Ngampeken Merga Ras Beru):
Dalam kehidupan masyarakat Karo sangat menghormati teman meriah (sahabat karib) sebagai sesama yang saling mengasihi. Tetapi setelah sekian lama menjadi sahabat karib, maka orang tersebut harus diangkat menjadi saudara (sembuyak).  Melalui musyawarah mufakat sangkep nggeluh, kepada teman meriah tersebut diberikan kehormatan yaitu marga dan beru dan bebere juga singalo perninin[32], perkempun[33] dan seterusnya. 
 Sehubungan dengan memberikan marga dan beru ini, maka tata caranya sesuai dengan perjalanan hidup yang berkeinginan memberikan marga dan beru tersebut. Ketika memberikan marga, maka kalimbubu simada dareh[34] harus memberikan bulang-bulang (topi kehormatan adat). Karena bulang-bulang dalam kehidupan orang Karo bermakna kehormatan dan  kewibawaan.
Selanjutnya diberikan gonje, uis gatip jongkiten berwarna hitam. Maknanya adalah supaya si penerima kain ini  mengetahui dan sadar menjaga hal-hal yang tabu dalam kehidupan. Dia senantiasa menjaga supaya sangkep nggeluh yang memberi marga tersebut tidak menjadi malu atau mendapat aib.
Juga diberikan kepadanya kampuh kadang-kadangen (sarung yang disandang di bahu), maknanya bahwa jika dia sudah mengaku mendapatkan sembuyak senasib sepenanggungan/sehati sepikir dalam Merga Silima, maka dia harus menggendong, menenteng dan menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dibanding dengan sangkep sembuyak (saudara angkat) yang menerima dia.
Selanjutnya diberikan lagi cengkok-cengkok, tempatnya diatas pundak kiri dan kanan. Maknanya supaya dalam kehidupannya dia senantiasa beroleh damai sejahtera, bukan malapetaka.    
Pisau juga diberikan, maknanya bahwa dia dan saudara angkatnya (sembuyak) bisa menjadi seperti pisau yang tajam dalam mengerjakan tugas adat dari kalimbubu.
Setelah marga dan bebere diberikan kepada laki-laki selesai, maka diberikan beru, bebere dan seterusnya kepada si perempuan.  Pertama dipasangkan tudung (topi kehormatan adat bagi wanita). Maknanya bahwa dalam kehidupan orang Karo, sangkep nggeluh (kalimbubu, senina, anak beru) semuanya pada dasarnya sederajat, harus saling menghormati-dihormati.
Selanjutnya diberikan gonje, gatip pengkalkal, maknanya bahwa ia harus menjaga apa  yang tabu. Juga supaya si ibu ini senantiasa tabah  dalam berpikir, dibelah tiada bisa terbelah, dipotong terasa kenyal, dengan kata lain dia berpikiran teguh dalam kebaikan.  Selanjutnya diberikan kadang-kadangen, maknanya bijaksana dalam menjaga penampilan dan mengambil hati terhadap sangkep nggeluh nya. Kampil,(tempat sirih) maknanya mampu menghormati sangkep nggeluh dan khalayak ramai.
Dalam memberikan marga  ini, diberi kata-kata petuah bahwa harta warisan si pemberi marga tidak ikut disertakan kepada si penerima marga untuk memiliki hak atau bagian.  Namun pemberian marga ini menunjukkan rasa persaudaraan yang sehati-sepikir, senasib sepenanggungan dan saling  mengasihi.
2.6. Makna Uis Bagi Pemerintah Karo
Uis adalah salah satu kebudayaan didalam budaya karo yang memiliki peran penting didalam setiap upacara Adat istiadat orang karo, hal itu dikarenakan, Uis lah yang menjadi ciri khas didalam orang karo yang memberikan makna kejuah-juahen antara satu dengan yang lain dan memberikan kehanggatan didalam kekeluargaan orang karo. Hal ini juga di pakai didalam lambang kepemimpin di tanah karo yang berlambang Pijer Podi, dimana Uis Bekabuluhlah yang menjadi menjadi lambang kepemimpinan dan Uis Arinteneng yang menjadi lambang kesentosaan Orang karo jika dilihat dari gambar logo Pijerpodi tersebut. Bagian-bagian didalam lambing logo pijer Podi adalah, sebagai berikut:
·         Uis Beka Buluh, Lambang kepemimpinan.
·         Bintang Lima, Melambangkan bahwa suku Karo terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yagn terdiri dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I
·         Padi, Melambangkan Kemakmuran yang terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan R.I
·         Bunga Kapas, Lambang keadilan sosial, cukup sandang pangan yagn terdiri dari 8 buah sesuai dengan bulan kemerdekaan R.I
·         Kepala Kerbau, Melambangkan semangat kerja dan keberanian
·         Tugu Bambu Runcing, Melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan Negara Kesatuan R.I
·         Markisa, Kol Dan Jeruk, Melambangkan hasil pertanian spesifik Karo yagn memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo
·         Jambur Sapo Page, Melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung (tempat menyimpan padi)
·         Uis Arinteneng, Lambang kesentosaan
·         Rumah Adat Karo, Melambangkan ketegaran seni, adat dan budaya Karo[35]

2.7.Memaknai Yesus lewat pemakaian Uis didalam adat suku Karo
Dari seluruh uraian di atas jelas terlihat betapa pentingnya pemahaman yang benar akan makna suatu simbol atau tanda yang digunakan sebagai sarana dalam rangka relasi di antara orang Karo dengan segala acara adat yang terdapat didalamnya. Hal yang menarik di sini, ternyata uis Karo dengan segala nama dan jenisnya memiliki makna religius yang semuanya memiliki kaitan dengan yang Maha Kuasa (Tuhan/ Dibata) sesudah masuknya zending/ penginjil ke suku Karo dalam mengenal Yesus dalam Injil. Uis bukan hanya sekedar penghangat tubuh atau penghias penampilan di sebuah acara, melainkan mengandung makna dan harapan serta permohonan pada Tuhan demi kesejahteraan dan kelancaran setiap acara adat tersebut kepada keluarga sipelaksana.[36]
Melalui acara adat di dalam pemakaian uis, hanya keluarga sipelaksana acara adatlah yang memaknai Uis Adat Karo lengkap untuk menunjukkan bahwa keluarga yang melakukan acara adat tersebut, itu berarti bahwa kasih Allah yang tidak terjangkau itu dapat dirasakan jika keluarga sipelaksana acara adatlah yang sudah memakai uis lengkap menunjukkan kehadiran Yesus kepada keluarga sipelaksana acara untuk mengadakan dan menjadi saluran berkat kepada keluarga atau orang-orang yang menghadiri acara adat itu dalam hal mempersatukan relasi sesama orang Karo (berhubungan dengan keluarga sipelaksana) dalam tali kasih kebersamaan. Dalam semua acara adat yang dilaksanakan, tidak pernah terlepas dari relasi dengan yang Maha Kuasa. Itu berarti dalam acara adat penggunaan Uis diyakini Tuhan juga ikut campur tangan dan seluruh proses kehidupan yang dijalani seseorang. Dengan menggunakan Uis dengan teratur di dalam acara adat karo tertentu berdasarkan nama dan fungsinya, spiritualitas seseorang dapat bertumbuh ke arah yang lebih dewasa dan itu dapat menolongnya untuk semakin merasakan makna kasih Tuhan yang memperlakukan manusia secara manusiawi tanpa memandang derajat/ jabatan. Ini mendorong manusia untuk memperlakukan sesamanya dengan manusiawi hingga akhir hayatnya. Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan religius terkandung dalam pemakaian dan pemberian uis adat Karo, dan dengan demikian terbuka Tuhan bekerja menyatakan kasihNya (termasuk menguduskannya) kepada manusia.[37] Maka secara singkat dapat dikatakan bahwa didalam acara adat suku karo tidak terlepas dengan namanya Uis Karo karena makna Uis karo tersebut adalah Doa yang dipanjatkan kepada Tuhan.
III.             Kesimpulan
Injil diberitakan ditengah-tengah dunia yang penuh dengan adat kebudayaan serta berhadapan dengan adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam pertemuan injil dan adat tersebut, secara khusus membahas dalam unsur-unsur adat kebudayaan didalam Uis suku Karo. Didalam Uis karo yang memiliki makna yang baik didalam adat karo, yang bisa menjalin hubungan antara sesama dan kepada Tuhan. maka pemaknaan tersebutlah yang akan kepada tahap memaknai Yesus Kristus. Sehingga kita dapat katakan bahwa Uis menjadi alat yang membawa kehadiran Tuhan disetiap kegiatan dan kehidupan orang Karo, sebab didalam setiap upacara adat tidak pernah meninggalkan yang namanya Uis didalam adat Karo.
IV.             Daftar Pustaka
Bangun Tridah, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990)
Bangun Tridah, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990)
Barus U. C., Mberguh Sembiring, Sejemput Adat Karo (Sekilas adat budaya karo), (Medan, 1994)
Ginting E. P., Jurnal Teologi tabernakel (Kebudayaan), (Medan: STT. Abdi Sabda, 2009)
Ginting Sada kata, Pegara Min Api-Ndu, (Kabanjahe: Modramen GBKP, 2011)
Kipp Rita Smith, Dissociated Identities; Ethnicity, Religion, adn Class in an Indonesian Society, (America: Michigan, 1993)
Niebuhr Richard, Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta: Petra Jaya, 1995)
Sitepu A. G., Ragam Hias (Ornamen Tradisonal Karo, seri A),(Kabanjahe, 1980)
Sitepu Rahman, Bahasa & Budaya daerah Karo, (kabanjahe, 2011)
Sitepu Sempa, dkk, Pilar Budaya Karo, (BALI scan, Medan)
Sitepu Sempa, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh suku Karo Indonesia,(Medan: Bali Scan, 1993)
Tarigan Sarjani, Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme, (Medan: Prumnas simalingkar)
·         Sumber Internet




[1] Tridah bangun, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990),135-137
[2]E. P. Ginting, Jurnal Teologi tabernakel (Kebudayaan), (Medan: STT. Abdi Sabda, 2009), 20
[3] Sada kata Ginting, Pegara Min Api-Ndu, (Kabanjahe: Modramen GBKP, 2011),12
[4] Tridah bangun, Adat Istiadat Karo, 18
[5] Ibid, 141-142
[6] A. G. Sitepu, Ragam Hias (Ornamen Tradisonal Karo, seri A),(Kabanjahe, 1980), 50
[7] Tridah Bangun, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990), 11-12
[8] Ibid., 51-52
[9] Tridah Bangun, Manusia Adat Karo, (Jakarta: Inti Idayupress, 1986), 74, 76
[10] Rahman sitepu, Bahasa & Budaya daerah Karo, (kabanjahe, 2011), 16
[11] U. C. Barus, Mberguh Sembiring, Sejemput Adat Karo (Sekilas adat budaya karo), (Medan, 1994), 41-43
[12] Sitepu Sempa, dkk. Pilar Budaya Karo, (BALI scan, Medan), 257
[14] Sarjani Tarigan, Dinamika Orang Karo, Budaya dan Modernisme, (Medan: Prumnas simalingkar), 108
[15] Ibid.,108
[16] Ibid.,108
[17] Ibid.,108
[18]Ibid., 109
[19] Ibid.,109
[20] Ibid.,109
[21] Ibid.,109
[22] Ibid.,110
[23] Ibid.,110
[24] Ibid.,110
[25] Ibid.,111
[26] Ibid.,111
[27] Ibid.,112
[28] Ibid.,112
[29] Cawir metua artinya: “panjang umur sampai semua anaknya telah berumah tangga”
[30] Sada Kata Ginting, Seminar Budaya Karo Permata Betlehem Km. 7 Padang Bulan Medan, Minggu 10 Mei 2009
[31] Kampil biasanya adalah tempat ramuan sirih yang terbuat dari pandan; tempat peluru; kampil gempang sawa, dipakai pria pemakan sirih, sebagai alat untuk memulai pembicaraan waktu pesta perkawinan sebanyak lima buah, yang diperuntukkan bagi: kalimbubu, puang kalimbubu (singalo bere-bere), penghulu (pengulu pihak sinereh), kalimbubu (senina sinereh), dan anak beru.
[32] Yaitu apabila anak beru menteri (anak perempuan dari keponakan (bere-bere) yang laki-laki) kawin, maka ia menerima perninin dan disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang adat perninin ini, hanya ada di beberapa daerah Karo, seperti di Urung Julu, Lau Cih (Deli Serdang) serta Langkat, di daerah Langkat disebut: kalimbubu singalo perkempun.
[33] Adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang (berasal) dari merga puang kalimbubunya, atau dari bere-bere ibunya, atau dari beru neneknya (ibu dari ibunya)
[34] Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu, Jika saudara laki-laki dari ibu sudah tidak ada bisa juga dilakukan oleh isterinya dan bila itu juga sudah meninggal bisa dilakukan oleh anaknya yang laki-laki.
[35] Sempa Sitepu, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh suku Karo Indonesia,(Medan: Bali Scan, 1993), 1-10
[36] Rita Smith Kipp, Dissociated Identities; Ethnicity, Religion, adn Class in an Indonesian Society, (America: Michigan, 1993), 4
[37]  Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan, (Jakarta: Petra Jaya, 1995), 50-57