Nama :
Andi Satria Putranta Barus
Nim :
10.01.679
Tingkat/ Jurusan : IVC / Teologia
Mata Kuliah :
Teologia Kontekstual
Dosen :
Pdt. Dr. Jan Yahaman Damanik
Memaknai Yesus lewat pemakaian Ulos dalam Adat suku Karo
I.
Pendahuluan
Pemaknaan Yesus
Kristus yaitu tidak terlepas karya penyelamatan, sehingga pada saat ini kita
akan sampai kepada pemaknaan Yesus lewat pemakaian Ulos didalam Adat. Dimana
pada kesempatan kali ini kita akan melihat makna dari Ulos orang karo yang
dikenal dengan Uis, sehingga dari makna Uis ini kita juga mendapat pemaknaan
Yesus kristus. Maka melalui sajian ini kita akan membahas serta mendalaminya
dengan Judul “Memaknai Yesus lewat pemakaian Uis dalam Adat suku Karo”, semogga
sajian ini menambah wawasan kita.
II.
Pembahasan
2.1.Sekilas mengenai Adat Istiadat Karo
Adat adalah salah
satu unsur bagian dari kebudayaan. Kebudayaan dalam arti luas adalah merupakan
usaha dari hasil pemikiran makhluk Tuhan yang bernama manusia. Buah usaha
pemikiran itu melahirkan berbagai karya, baik
berwujud nyata maupun tidak, yang dikenal dengan nama kebudayaan. Dari
uraian tersebut dapatlah dikemukakan bahwa bagian–bagian terpenting dari
kebudayaan dapat disebut adalah:
·
Alat atau keperluan hidup seperti: sandang,
pangan, Rumah
·
Susunan masyarakat, tata cara hidup, adat
istiadat
·
Bahasa
·
Ilmu pengetahuan
·
Kesenian
·
Kepercayaan
·
Dan system mata pencarian.[1]
Sehingga didalam adat
karo terdapat juga nilai-nilai yang mengatur mengenai manusia, disusun dan
dipraktekkan. Karena adat adalah hukum-hukum pengaturan sikap hidup dan
perbuatan didalam semua hubungan seorang dengan sesamanya satu suku bangsa,[2]
dan juga menghubungkan orang hidup yang kelihatan dengan orang mati yang
hidupnya tidak kelihatan, yang juga disebut orang karo tendi (roh).[3]
Pada tahun 1986, orang
karo diperkirakan berjumlah ± 1 juta jiwa, sejak keberadaannya jelas memiliki
adat istiadat. Sebagaimana juga dengan suku-suku lain dari bangsa Indonesia,
pada umumnya adat istiadat mereka tidak tertulis, namun dijadikan sebagai
anutan secara kesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya, demikian
jugalah dengan suku karo adat istiadat mereka tidak tertulis. Ia merupakan
warisan dari generasi ke generasi berikutnya dan dipatuhi oleh anggota-anggota
masyarakat Karo.
Salah satu aspek dari
adat istiadat itu yang berjalan secara baik atau sebagaimana adanya, artinya
berfungsi secara normal, ialah dalam hal system kekerabatan/ kekeluargaan,
tergambar dari susunan masyarakat karo: Merga silima, tutur siwaluh, dalam pola
rakut si telu (sama dengan Daliken Si Telu, Iket Si Telu, Sangkep Si Telu) yang
terdiri dari: Senina/sembuyak/sukut, anak beru, dan kalimbubu.[4]
Dan didalam adat karo memiliki adat istiadat pada masyarakat karo secara umum
dapat dikatakan bertumpu kepada:
1. Lembaga adat
perkawinan
2. Acara dan upacara
kematian dan penguburan
3. Upacara mendirikan
dan memasuki rumah (adat)
4. Upacara-upacara adat
dan kepercayaan, Seperti:
Ngembah manok mbur, Mbaba anak ku Lau, Mbaba anak baru tubuh ku juma, Releng tendi, perselihi, mulahi
manok, Erpangir, Mbere buah uta-uta, Si cocon ngelegi lau udan, Perumah begu/ tendi, Nengget, Kerja tahun.
5. Adat memantangkan,
seperti: Rebu ngerana, kawin, dll.
6. Cerita adat, dan
nasehat berupa: pantun, puisi, lagu, dll.[5]
2.2.Pengertian Uis dalam adat Karo
Kain
adat tradisional Karo (Uis Adat Karo) merupakan pakaian adat yang digunakan
dalam kegiatan budaya suku karo maupun dalam kehidupan sehari-hari. Uis Karo
memiliki perbedaan didalam
warna, bentuk
dan motif. Bahwa perbedaan
tersebut berkaitan dengan waktu penggunaannya pada pelaksanaan kegiatan upacara adat karo. Orang Karo memahami
bahwa Uis Karo adalah salah satu benda/ perlengkapan yang dipergunakan didalam upacara
adat Karo. Sehingga mereka memahami bahwa setiap Uis yang akan dipergunakan/ dipakai
mempunyai tempat dan arti yang tersendiri
pada sipemakai.[6]
Pada umumnya Uis Adat Karo yang dibuat dari bahan kapas,
dipintal dan ditenun secara manual dan menggunakan zat pewarna alami (tidak
menggunakan bahan kimia pabrikan). Namun ada juga beberapa diantaranya
menggunakan bahan kain pabrikan yang dicelup (diwarnai) dengan pewarna alami
dan dijadikan kain adat Karo. Beberapa diantara Uis Adat Karo tersebut sudah
langka karena tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari, atau hanya
digunakan dalam kegiatan acara budaya yang berhubungan dengan kepercayaan
animisme dan saat ini tidak dilakukan lagi.[7]
2.3. Jenis-jenis Uis Adat Karo
Uis
Adat Karo, antara lain: Uis Arinteneng, Uis Batu Jala, Uis Beka Buluh, Uis Gara-gara & Gara-gara pakai benang emas, Uis Gatip Cukcak, Uis Gatip Gewang, Uis Gobar Dibata, Uis Jongkit pakai benang emas, Uis Jujung-jujungen, Uis Julu, Uis Kelam-kelam, Uis Nipes, Uis Nipes Mangiring, Uis Nipes Padang Rusak, Uis Nipes Ragi Mbacang, Uis pementing, Uis Perembah, Uis Teba.[8]
2.4. Makna Uis Adat Karo
Uis adalah salah satu
hasil tenun dari suku adat karo, menurut Tridah Bangun, hanya sebagian kecil
saja dari wanita karo yang dapat mengerjakan penenunan kain adat mulai dari
yang halus sampai kepada yang kasar. Pekerjaan tersebut memang cukup sulit,
khususnya dalam proses pembuatan benang dan penenunannya yang memakan waktu
cukup lama. Dan setiap kain adat karo yang disebut Uis karo, memiliki makna,
fungsi pengunaan. [9]Diantaranya:
1. Uis Arinteneng
Warnanya hitam agak
pekat, karena kain ini dibuat dari benang kapas yang dicelupkan dengan sejenis
bahan yang warnanya hitam. Uis ini digunakan didalam acara adat pesta
perkawinan yaitu pada saat waktu emas kawin diserahkan kain ini dipakai sebagai
alas pinggan pasu (Piring), yang bentuknya cekung dan lebih besar dari piring
biasa, warna piring tersebut berwarna putih biasa. Dimana Uis Arinteneng ini
digunakan sebagai alas piring Pinggan pasu yang terdapat Emas kawin diatas
pring tersebut.[10]
Pelaksanaannya pada saat “mukul” (acara makan pada saat memasuki pelaminan), yang bermakna untuk memanggil roh, untuk
“lanam” (alas menjunjung kayu api waktu memasuki rumah baru), untuk “upah
tendi” (upah roh), diberikan sebagai penggendong bayi disaat nantinya mereka memiliki keturunan
dan alas bibit padi sebagai sumber
kehidupan mereka.[11]
Didalam upacara Njujung beras piher, Uis ini di pakai dengan makna “Tenang
tendi i rumah” (Ketentraman).[12]
2. Uis Batu Jala
Uis
ini digunakan untuk tudung bagi anak gadis pada pesta “guro-guro aron”.
Boleh juga dipakai laki-laki
sebagai sarung, tapi harus 3 lapis, yaitu: uis batu jala, uis
rambu-rambu dan uis kelam-kelam.[13]
3.
Uis Beka Buluh
Uis Beka Buluh memiliki
ciri Gembira, Tegas dan Elegan,
Kain Adat ini merupakan Simbol Wibawa dan tanda kebesaran bagi seorang Putra
Karo. Dengan warna dasar kainnya
merah cerah, dibagian tengah terdapat garis-garis yang berwarna kuning, ungu,
putih, dan juga pada bagian tepi terdapat motif-motif karo yang digunakan
dengan benang berwarna emas Ukuran : 166 x 86 Cm. Pada saat Pesta Adat Kain ini digunakan
kepada kaum pria Karo. Dimana kain ini diposisikan pada bagian kepala pria yang
sering disebut bulang-bulang (Penutup kepala/ Topi)
sebagai mahkota di kepalanya pertanda bahwa untuk dialah pesta tersebut
diselenggarakan, dan pada posisi bahunya yang juga sering disebut
cekok-cekok (Penghias baju).[14]
Uis
ini dipakai pada saat Pesta Perkawinan,
Mengket Rumah (Peresmian Bangunan), dan Cawir Metua (Upacara Kematian bagi
Orang Tua yang meninggal dalam keadaan umur sudah lanjut) Sebagai Maneh-maneh. Setiap putra karo yang masih muda diberkati/ didoakan oleh Kalimbubu (Paman,
Saudara Laki-laki dari Ibu, Pihak yang dihormati) agar putra tersebut berhasil dalam hidupnya. Pada
Saat kematiannya, pihak keluarga akan membayar berkat yang diterima tersebut
dengan menyerahkan tanda syukur yang paling berharga kepada pihak kalimbubu
tadi yakni mahkota yang biasa dikenakannya yaitu Uis Beka Buluh. Kain ini juga biasa diletakan diatas tudung wanita,
dikarenakan Uis ini memiliki corak yang indah dan Uis ini memiliki posisi yang
tinggi Karena letaknya pada pada bagian atas seperti kepala dan bahu yang
melambangkan kepemimpinan.[15]
4. Uis Gara-gara & Gara-gara pakai benang emas
Warna kain ini ialah
merah tua dan ada juga yang bergaris-garis kecil dengan warna garis putih di
bagian tengah, dan ditepian kain terdapat juga rumbai-rumbai dan sebagian kain
seperti ini mengunakan benang berwarna emas, kain ini berjenis kain yang tebal dan
pada saat sekarang banyak sekali motif-motif yang indah. Kain ini sering
digunakan orang karo pada kesehariannya (kain yang tidak memiliki benang yang
berwarna emas), yang tidak memakai beang emas
biasanya dipakai oleh wanita-wanita sehari-hari sebagai penutup
kepala di desa dan pada upacara-upacara adat Karo
(yang memiliki benang yang berwarna emas), sebagai
tudung oleh wanita,
dengan
bentuknya lebih pendek dari tudung teger limpek. Proses
pembuatannya juga sama dengan teger limpek hanya
ini lebih sederhana.[16]
5. Uis Gatip Cukcak
Warnanya hitam dan terdapat corak bintik-bintik
pada bagian tenggah, dan pada tepian kain terdapat warna hitam pekat dan pada
ujungnya terdapat rumbai-rumbai. Jenis kain ini agak tebal hingga orang karo
menyebutnya dengan Uis kapal (kain tebal). Kain ini digunakan sebagai alat pelengkap
pakaian (Ose) laki-laki, kain ini dipakai pada bagian bawah laki-laki yang
disebut gonje disaat acara adat, seperti: acara pesta perkawinan, memasuki
rumah baru, guro-guro Aron (Pesta muda-mudi). Dimana Uis
Gatip Jongkit menunjukkan karakter kuat dan perkasa.
6. Uis Gatip Gewang
Uis
ini digunakan untuk menggendong bayi perempuan dan “abit” (sarung)
laki-laki Kegunaannya sama dengan gatip gewang, bedanya adalah gatip cukcak ini
tidak pakai benang emas.[17]
7. Uis Gobar Dibata
Uis
ini digunakan untuk upacara kepercayaan, seperti “Uis Jinujung”,
“berlangir” dan
“ngelandekken galuh”.[18]
8. Uis Jongkit pakai benang emas
Uis ini berwarna dan
bahannya sama dengan Uis Gatip, hanya saja Uis Jongkit ditengah-tengah kain
memakai benang emas yang motifnya melintang-melintang pada kain tersebut hingga
warna dan bentuknya kelihatan lebih cerah. Kain ini sering digunakan setiap
upacara-upacara Adat Karo.[19]
9. Uis Jujung-jujungen
Uis ini berwarnanya merah,
bersulamkan benang emas dan terdapat rumbai-rumbai pada ujung kain. Kain ini
berbeda dengan kain lain, karena kain ini memiliki ukuran yang lebih kecil dari
kain lainya. Kain ini sering digunakan oleh kaum wanita yang digunakan sebagai
hiasan tudung, Kain ini dipakai pada saat acara pesta adat perkawinan.[20]
10. Uis Julu
Uis ini tebal seperti Uis Jongkit/ Gatip, kain ini
berwarna hitam kebirua-biruan, dan pada bagian ujung terdapat rumbai-rumbai.
Kain yang ini sering sekali digunakan disetiap acara pada kaum wanita
diletakkan pada bagian pinggang sebagai sarung yang dikenal dengan sebutan
orang karo yaitu abit. Untuk sarung, “maneh-maneh”, untuk mengganti
pakaian orang tua (untuk laki-laki) dan selimut.[21]
11. Uis Kelam-kelam
Warnanya hitam pekat
dan bahan kainya lebih tipis dan kain ini tidak memiliki motif (Polos).
Meskipun kain ini tipis, kain ini memiliki sifat yang lebih keras. Kain ini
sering digunakan pada kaum wanita, kain ini digunakan para wanita sebagai bahan
untuk membuat Tudung (Bagian kepala), dengan bentuk yang sangat unik dan
menarik hingga tidak semua orang dapat membuat tudung. Uis
kelam-kelam ini juga digunakan untuk
tudung orang tua, untuk “morah-morah” (kado untuk laki-laki), dan boleh juga
dipakai oleh laki-laki dalam upacara adat, tapi disertai batu jala dan
rambu-rambu.[22]
12. Uis Nipes
Uis
Nipes ini digunakan untuk tudung, “maneh-maneh” (kado untuk
perempuan), untuk mengganti pakaian orang tua (pihak perempuan) dan sebagai
alas “pinggan pasu” (piring) pada saat memberikan mas kawin dalam upacara adat. Kain ini jenisnya lebih tipis
dari kain - kain lainnya dan bermacam- macam motif dan
warnanya (merah, coklat, hijau, ungu) dan sebagainya . Pemakaian kain ini sering dipakai Sebagai selendang
bagi wanita. Masih banyak lagi nama- nama kain yang
yang tidak disebuitkan, namun kain-kain diataslah yang selalu
dipergunakan pada upacara-upacara adat. Macam-macam uis Nipes, diantaranya:
·
Uis Nipes Mangiring
Kain
ini dipakai untuk selendang wanita pada upacara yang bersifat duka cita. Yang
bermakna rasa berdukacita.[23]
·
Uis Nipes Padang
Rusak
Kain
ini dipakai untuk selendang wanita pada pesta maupun dalam sehari-hari.[24]
·
Uis Nipes Ragi
Mbacang/ Ragi Barat
Kain ini dipakai untuk
selendang wanita pada upacara yang bersifat sukacita maupun dalam keseharian. Lapisan luar pakaian wanita bagian bawah
(sebagai kain sarung) untuk kegiatan
pesta sukacita yang diharuskan berpakaian adat lengkap.[25]
13. Uis pementing
Kain ini dipakai Pria Karo sebagai ikat pinggang (benting)
pada saat berpakaian Adat lengkap dengan menggunakan Uis Julu sebagai kain
sarung.[26]
14. Uis Perembah
Untuk menggendong bayi dan Untuk anak pertama, perembah diberikan oleh
Kalimbubu seiring doa dan berkat agar anak tersebut sehat-sehat, cepat besar
dan menjadi orang sukses dalam hidupnya kelak.[27]
15. Uis Teba
Warnanya yang
kebiru-biruan bergaris putih, dan pada bagian tepi terdapat warna hitam, dan
pada ujung kain terdapat rumbai-rumbai. Kain ini digunakan oleh para kaum
wanita yang sudah tua dan kain ini juga dipakai sebagai maneh-maneh (tanda
mata) pada acara adat karo disaat meninggal dunia.[28]
2.5. Makna
Uis (kain adat) Karo
a. Untuk laki-laki
Bulang-bulang beka buluh,
bulang-bulang beka buluh ini bergaris-garis warna putih dan bergaris-garis
berwarna merah. Garis-garis warna putih menggambarkan: ”gambaran anak raja yang mampu mengambil
keputusan yang bijak dan hati yang baik”, garis-garis warna merah mengatakan
yang benar mempertahankan hak, dalam memperjuangkan kepentingan umum dengan
tidak membedakan status sosial.
Uis beka buluh yang
diletakkan di pundak mengatakan bahwa hari ini berubah ali-ali jadi cengkok-cengkok,
gambaran berkat Tuhan yang menyertai kehidupan juga setiap langkah kehidupan
tetap sehat, damai sejahtera, dan hati orang yang jahat tidak sampai kepada
diri kita, bukan bencana yang datang kepada kita.
Diberikan sarung ”Uis
Gatip Jongkiten” berwarna hitam, supaya yang memakainya mengetahui pantang mereha (hal-hal yang tidak boleh
dilakukan) di dalam kehidupan ini. Contoh seorang anak beru menghadap kalimbubu
untuk menghindari mana tahu resleting terbuka pasti malu jika ini terjadi di
depan kalimbubu, sehinga disarungkan Uis
Gatip Jonggiten.
Diletakkan sarung di pundak, artinya supaya dia mengaku
kepada sangkep geluhnya (senina,
kalimbubu, anak beru) supaya satu pengharapan dalam Merga Silima, karena itu dia harus mengendong, menjinjing,
menjunjung, tidak lebih tinggi atau lebih rendah dalam kehidupan.
Pisau, melambangkan bahwa dia dengan saudara (senina)nya
bisa menjadi seperti pisau yang tajam bagi kalimbubu dalam mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan adat.
Ciken (tongkat)
melambangkan memberikan kemampuan dalam hidup ini sampai kepada hidup cawir metua.[29] Menjadi tua-tua pisang yaitu semakin tua semakin kuning,
tua-tua tebu semakin tua semakin manis.
b. Untuk Perempuan
Dipasangkan tudung
berwarna hitam, bentuknya segi tiga, artinya semua Sangkep Geluh orang Karo, senina,
anak beru, kalimbubu, semua harus sama di depan mata, saling menghargai,
semua saling menghargai supaya tidak ada kesenjangan sosial dalam kehidupan
ini. Tetap teguh dalam kehidupan supaya hidup damai sejahtera.
Diberikan gonje
(sarung, busana pria yang panjang), disebut uis
pengalkal (tabah). Demikianlah supaya seorang istri ngalkal (tabah)
berpikir, dibelah tidak pecah,
dipotong tidak putus dengan kata lain dia harus teguh berpikir dalam kejujuran.
Lagi pula pada hari-hari yang akan datang mampu menjaga
pantangan-pantangan dalam kehidupan ini.
Diberikan kadang-kadang
(sehelai kain yang digantungkan bebas di atas bahu). Biasanya langge-langge ragi barat artinya orang
yang menghias diri terampil menampilkan diri beserta sangkep geluh. Ragi Barat, maknanya bahwa semua
pekerjaan harus diselesaikan hingga petik
mejile (baik/sempurna), maka layaklah upah diterima. Barat maknanya pekerjaan yang dikerjakan dengan baik dan ragi artinya lakon
tandang guna, yang tidak berguna menjadi berguna seperti yang diharapkan.[30]
Kampil menandakan dan
memperlihatkan kebijaksanaan dan kehormatan bagi sangkep geluh dan halayak
ramai. Jadi kampil adalah
hal utama sebagai alat menghadap kalimbubu di semua tahapan kehidupan.[31] Contoh,
acara Penabalan Marga dan Beru (Ngampeken Merga Ras Beru):
Dalam kehidupan masyarakat Karo sangat menghormati teman meriah (sahabat karib) sebagai
sesama yang saling mengasihi. Tetapi setelah sekian lama menjadi sahabat karib,
maka orang tersebut harus diangkat menjadi saudara (sembuyak). Melalui
musyawarah mufakat sangkep nggeluh,
kepada teman meriah tersebut
diberikan kehormatan yaitu marga dan beru
dan bebere juga singalo perninin[32], perkempun[33]
dan seterusnya.
Sehubungan dengan
memberikan marga dan beru ini, maka tata caranya sesuai
dengan perjalanan hidup yang berkeinginan memberikan marga dan beru tersebut.
Ketika memberikan marga, maka kalimbubu
simada dareh[34]
harus memberikan bulang-bulang (topi
kehormatan adat). Karena bulang-bulang
dalam kehidupan orang Karo bermakna kehormatan dan kewibawaan.
Selanjutnya diberikan gonje,
uis gatip jongkiten berwarna hitam.
Maknanya adalah supaya si penerima kain ini
mengetahui dan sadar menjaga hal-hal yang tabu dalam kehidupan. Dia
senantiasa menjaga supaya sangkep nggeluh
yang memberi marga tersebut tidak menjadi malu atau mendapat aib.
Juga diberikan kepadanya kampuh kadang-kadangen (sarung yang disandang di bahu), maknanya
bahwa jika dia sudah mengaku mendapatkan sembuyak
senasib sepenanggungan/sehati sepikir dalam
Merga Silima, maka dia harus menggendong, menenteng dan menjunjung, tidak
lebih tinggi atau lebih rendah dibanding dengan sangkep sembuyak (saudara
angkat) yang menerima dia.
Selanjutnya diberikan lagi cengkok-cengkok, tempatnya diatas pundak kiri dan kanan. Maknanya
supaya dalam kehidupannya dia senantiasa beroleh damai sejahtera, bukan
malapetaka.
Pisau juga diberikan, maknanya bahwa dia dan saudara
angkatnya (sembuyak) bisa menjadi
seperti pisau yang tajam dalam mengerjakan tugas adat dari kalimbubu.
Setelah marga
dan bebere diberikan kepada laki-laki
selesai, maka diberikan beru, bebere dan seterusnya kepada si
perempuan. Pertama dipasangkan tudung (topi kehormatan adat bagi
wanita). Maknanya bahwa dalam kehidupan orang Karo, sangkep nggeluh (kalimbubu,
senina, anak beru) semuanya pada dasarnya sederajat, harus saling
menghormati-dihormati.
Selanjutnya diberikan gonje,
gatip pengkalkal, maknanya bahwa ia harus menjaga apa yang tabu. Juga supaya si ibu ini senantiasa
tabah dalam berpikir, dibelah tiada bisa
terbelah, dipotong terasa kenyal, dengan kata lain dia berpikiran teguh dalam kebaikan. Selanjutnya diberikan kadang-kadangen, maknanya bijaksana dalam menjaga penampilan dan
mengambil hati terhadap sangkep nggeluh
nya. Kampil,(tempat sirih) maknanya
mampu menghormati sangkep nggeluh dan
khalayak ramai.
Dalam memberikan marga
ini, diberi kata-kata petuah bahwa harta warisan si pemberi marga tidak
ikut disertakan kepada si penerima marga untuk memiliki hak atau bagian. Namun pemberian marga ini menunjukkan rasa
persaudaraan yang sehati-sepikir, senasib sepenanggungan dan saling mengasihi.
2.6. Makna Uis Bagi Pemerintah Karo
Uis adalah salah satu
kebudayaan didalam budaya karo yang
memiliki peran penting didalam setiap upacara Adat istiadat orang karo, hal itu
dikarenakan, Uis lah yang menjadi ciri khas didalam orang karo yang memberikan
makna kejuah-juahen antara satu dengan yang lain dan memberikan kehanggatan
didalam kekeluargaan orang karo. Hal ini juga di pakai didalam lambang kepemimpin di tanah karo yang berlambang Pijer Podi, dimana Uis Bekabuluhlah yang menjadi menjadi lambang
kepemimpinan dan Uis
Arinteneng yang menjadi lambang kesentosaan Orang karo jika dilihat dari gambar logo Pijerpodi
tersebut. Bagian-bagian didalam lambing logo pijer Podi adalah,
sebagai berikut:
·
Uis
Beka Buluh, Lambang
kepemimpinan.
·
Bintang
Lima, Melambangkan bahwa suku Karo
terdiri dari lima merga, kemudian dipadukan dengan tiang bambu yagn terdiri
dari empat buah sehingga menyatu dengan tahun Kemerdekaan R.I
·
Padi, Melambangkan Kemakmuran yang
terdiri dari 17 butir sesuai dengan tanggal kemerdekaan R.I
·
Bunga
Kapas, Lambang
keadilan sosial, cukup sandang pangan yagn terdiri dari 8 buah sesuai dengan
bulan kemerdekaan R.I
·
Kepala
Kerbau,
Melambangkan semangat kerja dan keberanian
·
Tugu
Bambu Runcing,
Melambangkan patriotisme dan kepahlawanan dalam merebut dan mempertahankan
Negara Kesatuan R.I
·
Markisa,
Kol Dan Jeruk, Melambangkan hasil pertanian
spesifik Karo yagn memberikan sumber kehidupan bagi masyarakat Karo
·
Jambur
Sapo Page, Melambangkan sifat masyarakat Karo yagn suka menabung
(tempat menyimpan padi)
·
Uis
Arinteneng, Lambang kesentosaan
2.7.Memaknai Yesus lewat pemakaian Uis didalam adat
suku Karo
Dari seluruh uraian di atas jelas terlihat betapa pentingnya
pemahaman yang benar akan makna suatu simbol atau tanda yang digunakan sebagai
sarana dalam rangka relasi di antara orang Karo dengan segala acara adat yang
terdapat didalamnya. Hal yang menarik di sini, ternyata uis Karo dengan segala
nama dan jenisnya memiliki makna religius yang semuanya memiliki kaitan dengan
yang Maha Kuasa (Tuhan/ Dibata) sesudah masuknya zending/ penginjil ke suku
Karo dalam mengenal Yesus dalam Injil. Uis bukan hanya sekedar penghangat tubuh
atau penghias penampilan di sebuah acara, melainkan mengandung makna dan
harapan serta permohonan pada Tuhan demi kesejahteraan dan kelancaran setiap
acara adat tersebut kepada keluarga sipelaksana.[36]
Melalui acara adat di dalam pemakaian uis, hanya keluarga
sipelaksana acara adatlah yang memaknai Uis Adat Karo lengkap untuk menunjukkan
bahwa keluarga yang melakukan acara adat tersebut, itu berarti bahwa kasih
Allah yang tidak terjangkau itu dapat dirasakan jika keluarga sipelaksana acara
adatlah yang sudah memakai uis lengkap menunjukkan kehadiran Yesus kepada
keluarga sipelaksana acara untuk mengadakan dan menjadi saluran berkat kepada
keluarga atau orang-orang yang menghadiri acara adat itu dalam hal
mempersatukan relasi sesama orang Karo (berhubungan dengan keluarga
sipelaksana) dalam tali kasih kebersamaan. Dalam semua acara adat yang
dilaksanakan, tidak pernah terlepas dari relasi dengan yang Maha Kuasa. Itu
berarti dalam acara adat penggunaan Uis diyakini Tuhan juga ikut campur tangan
dan seluruh proses kehidupan yang dijalani seseorang. Dengan menggunakan Uis dengan
teratur di dalam acara adat karo tertentu berdasarkan nama dan fungsinya,
spiritualitas seseorang dapat bertumbuh ke arah yang lebih dewasa dan itu dapat
menolongnya untuk semakin merasakan makna kasih Tuhan yang memperlakukan
manusia secara manusiawi tanpa memandang derajat/ jabatan. Ini mendorong
manusia untuk memperlakukan sesamanya dengan manusiawi hingga akhir hayatnya.
Penghargaan atas nilai-nilai kemanusiaan dan religius terkandung dalam
pemakaian dan pemberian uis adat Karo, dan dengan demikian terbuka Tuhan
bekerja menyatakan kasihNya (termasuk menguduskannya) kepada manusia.[37] Maka secara
singkat dapat dikatakan bahwa didalam acara adat suku karo tidak terlepas
dengan namanya Uis Karo karena makna Uis karo tersebut adalah Doa yang
dipanjatkan kepada Tuhan.
III.
Kesimpulan
Injil diberitakan
ditengah-tengah dunia yang penuh dengan adat kebudayaan serta berhadapan dengan
adat kebudayaan suatu masyarakat atau suku-suku. Dalam pertemuan injil dan adat
tersebut, secara khusus membahas dalam unsur-unsur adat kebudayaan didalam Uis
suku Karo. Didalam Uis karo yang memiliki makna yang baik didalam adat karo,
yang bisa menjalin hubungan antara sesama dan kepada Tuhan. maka pemaknaan
tersebutlah yang akan kepada tahap memaknai Yesus Kristus. Sehingga kita dapat katakan
bahwa Uis menjadi alat yang membawa kehadiran Tuhan disetiap kegiatan dan
kehidupan orang Karo, sebab didalam setiap upacara adat tidak pernah
meninggalkan yang namanya Uis didalam adat Karo.
IV.
Daftar Pustaka
Bangun Tridah, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan
Merga Silima, 1990)
Bangun Tridah, Adat
Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan Merga Silima, 1990)
Barus U. C.,
Mberguh Sembiring, Sejemput Adat Karo
(Sekilas adat budaya karo), (Medan, 1994)
Ginting E. P., Jurnal Teologi tabernakel (Kebudayaan),
(Medan: STT. Abdi Sabda, 2009)
Ginting Sada
kata, Pegara Min Api-Ndu, (Kabanjahe:
Modramen GBKP, 2011)
Kipp Rita Smith, Dissociated
Identities; Ethnicity, Religion, adn Class in an Indonesian Society, (America:
Michigan, 1993)
Niebuhr Richard, Kristus
dan Kebudayaan, (Jakarta: Petra Jaya, 1995)
Sitepu A. G., Ragam Hias (Ornamen Tradisonal Karo, seri
A),(Kabanjahe, 1980)
Sitepu Rahman,
Bahasa & Budaya daerah Karo, (kabanjahe, 2011)
Sitepu
Sempa, dkk, Pilar Budaya Karo, (BALI scan, Medan)
Sitepu Sempa, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh suku Karo
Indonesia,(Medan: Bali Scan, 1993)
Tarigan Sarjani,
Dinamika Orang Karo, Budaya dan
Modernisme, (Medan: Prumnas simalingkar)
·
Sumber
Internet
[7] Tridah Bangun, Adat Istiadat Karo, (Jakarta: Yayasan
Merga Silima, 1990), 11-12
[11] U. C.
Barus, Mberguh Sembiring, Sejemput Adat
Karo (Sekilas adat budaya karo), (Medan, 1994), 41-43
[13] http://irfafm.blogspot.com/2009/03/b-erikut-adalah-jenis-jenis-pakaiat.html,
diakses pada tanggal 2 maret 2014
[29] Cawir metua artinya: “panjang umur sampai semua anaknya telah
berumah tangga”
[30]
Sada Kata Ginting, Seminar Budaya Karo Permata Betlehem Km. 7 Padang Bulan
Medan, Minggu 10 Mei 2009
[31] Kampil biasanya adalah tempat ramuan sirih yang terbuat
dari pandan; tempat peluru; kampil
gempang sawa, dipakai pria pemakan sirih, sebagai alat untuk memulai
pembicaraan waktu pesta perkawinan sebanyak lima buah, yang diperuntukkan bagi:
kalimbubu, puang kalimbubu (singalo bere-bere), penghulu (pengulu pihak
sinereh), kalimbubu (senina sinereh), dan anak beru.
[32] Yaitu apabila anak beru menteri (anak perempuan dari
keponakan (bere-bere) yang laki-laki)
kawin, maka ia menerima perninin dan disebut kalimbubu singalo perninin. Hutang
adat perninin ini, hanya ada di beberapa daerah Karo, seperti di Urung Julu,
Lau Cih (Deli Serdang) serta Langkat, di daerah Langkat disebut: kalimbubu
singalo perkempun.
[33] Adalah nama keluarga yang
diwarisi seseorang (berasal) dari merga
puang kalimbubunya, atau dari bere-bere
ibunya, atau dari beru neneknya (ibu dari ibunya)
[34] Kalimbubu simada dareh adalah saudara laki-laki dari ibu, Jika
saudara laki-laki dari ibu sudah tidak ada bisa juga dilakukan oleh isterinya
dan bila itu juga sudah meninggal bisa dilakukan oleh anaknya yang laki-laki.
[35] Sempa
Sitepu, Sejarah – Pijer Podi Adat Nggeluh
suku Karo Indonesia,(Medan: Bali Scan, 1993), 1-10
[36] Rita Smith Kipp, Dissociated Identities; Ethnicity, Religion,
adn Class in an Indonesian Society, (America: Michigan, 1993), 4
[37]
Richard Niebuhr, Kristus dan
Kebudayaan, (Jakarta: Petra Jaya, 1995), 50-57