Senin, 09 Mei 2016

Nabi dan Keadilan dalam Perspektif Perjanjian Lama

Nabi dan Keadilan dalam Perspektif Perjanjian Lama
I.                   Pendahuluan
Nabi dan keadilan pada dasarnya adalah sejalan. Pada umumnya Allah mengutus nabi-Nya ke dunia ini oleh karena adanya ketidakadilan dalam umat-Nya (kecuali nabi Yunus). Misalnya ketidakadilan dalam aspek sosial, politik, ekonomi, keagamaan (rohani/ibadah), dll. Namun yang paling saya soroti dalam sajian ini adalah khusus dalam bidang social, politik dan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel. Bagaimana peran nabi dalam menghadapi persoalan keadilan di tengah-tengah bangsa Israel? Inilah yang akan kita bahas dalam sajian kali ini, semoga sajian ini dapat membantu kita untuk memahaminya.
II.                Pembahasan
2.1. Nabi dan Keadilan
2.1.1.      Nabi 
Dua istilah umum dipakai untuk para nabi. Pertama, abdi Allah menggambarkan bagaimana mereka dilihat oleh sesamanya manusia. Gelar ini untuk pertama kali dipakai bagi Musa (Ul 33:1) dan terus dipakai hingga akhir zaman raja-raja (1Sam 2:27; 9:6; 1Raj 13:1). Bahwa gelar itu bermaksud mengungkapkan perbedaan sifat antara nabi dan orang lain gamblang dijelaskan oleh perempuan Sunem: ‘Sesungguhnya aku sudah tahu bahwa orang yang selalu datang kepada kita itu adalah abdi Allah yang kudus’ (2Raj 4:9). Gelar umum yang lain ialah ‘hamba-Nya, hamba-Mu’, atau ‘hamba-Ku’. Nampaknya orang tidak menyapa nabi sebagai ‘hamba Allah’, tapi Allah sering menyebut nabi sebagai ‘hamba-Ku’ dan sebagai akibatnya kata-kata ganti
Ada tiga kata Ibrani yang dipakai untuk nabi: navi’, ro’eh, dan khozeh.[1] Yang pertama senantiasa diterjemahkan ‘nabi’, yang kedua, dalam bentuknya, adalah bentuk aktif dari kata kerja ‘melihat’, diterjemahkan ‘pelihat’. Yang ketiga juga bentuk aktif dari kata kerja lain ‘melihat’, yang juga diterjemahkan ‘pelihat’ (1Taw 29:29; Yes 30:10).[2]
Istilah nabi dalam Perjanjian Lama berasal dari kata kerja Naba yang berarti memancar bagaikan sumber. Maksudnya adalah bahwa orang tersebut digerakkan oleh Roh Kudus, sehingga firman Allah akan mengalir bagaikan pancara hidup, menyingkapkan rahasia-rahasia rohani. Sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. Istilah nabi muncul pertama kali di Perjanjian Lama dalam Kej. 20:7, yang mengacu pada Abraham, yang kemudian muncul lagi dalam Kej.7:1 yang menyebut Harun sebagai nabi bagi Musa. Sebab itu, selain nabi yang terdapat pada Kitab Para Nabi, masih terdapat banyak nabi, seperti Musa, (Ul. 34:10), Samuel (I sam. 3:20), Natan, Elia, Elisa dan nabi-nabi yang lain.[3]
Leonard Ravenhil mengatakan bahwa “seorang nabi diterima sepenuhnya oleh Allah dan ditolak sepenuhnya oleh manusia pada masanya. Seorang nabi datang untuk meluruskan hal-hal yang menyimpang. Tuigasnya adalah memanggil mereka yang memberontak untuk kembali taat. Ia tidak disukai karena dia menentang mereka yang popular dalam moralitas dan kerohanian. Fungsi seorang nabi adalah selalu untuk pemulihan.
Nabi adalah penyelidik-Nya yang mencari harta terpendam. Tingkat efektivitasnya ditentukan oleh ukuran ketidakpopulerannya. Kata kompromi tidak dikenalnya. Ia tidak memasang harga. Ia sepenuhnya “hidup dalam dunia lain”. Ia sangat controversial dan menentang tanpa ampun. Ia bergerak menurut tuntutan yang berbeda. Ia menyampaikan wahyu yang sangat penting.[4] Ia adalah seorang penglihat yang datang untuk menuntun mereka yang buta. Ia tinggal digunung-gunung Allah yang tinggi dan turun ke dalam lembah dengan mengatakan “inilah Firman Tuhan”. Ia mengambil bagian dalam beberapa hal yang direncanakan Allah sehingga ia mengetahui bencana yang akan datang. Ia hidup dalam pengasingan penuh. Ia tulus dan terus terang, tetapi ia tidak menuntut haknya. Nubuat-nubuatnya ditentang. Kebenaran yang disampaikannya menyiksa, tetapi suaranya tidak pernah sia-sia. Ia dipandang hina pada zamannya tetapi menjadi pahlawan di masa depan. Ia dijauhi selama hidupnya dan dipuji ketika ia sudah mati. Ia menentang kedudukan dalam pelayanan; kemudian ia diangkat sebagai orang kudus oleh penerusnya. Ia adalah cambuk bagi bangsa sebelum ia dicambuk oleh bangsa. Ia berhadapan dengan Allah sebelum ia berhadapan dengan manusia, tetapi ia tidak meninggikan dirinya sendiri.[5]

2.1.2.      Keadilan
Dalam KBBI adil adalah tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang  benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; dan tidak sewenang-wenang. Sedangkan keadilan adalah sefat (perbuatan, perlakuan, dsb) yang adil.[6] Secara objektif keadilan merupakan prinsip dasar yang mengatur seluruh kehidupa social, baik antrara orang perorangan maupun atara orang dan masyarakat dan pula di antara Negara-negara. Sedangkan secara subyektif keadilan adalah sikap seseorang terhadap sesama manusia, yaitu tekad memberi apa yang menjadi hak orang/kelompok lain tidak kurang dan tidak lebih.[7]
Menurut Browning dalam Kamus Alkitab, adil adalah salah satu sifat Allah (Mzm 89:13), yang dikejar oleh ciptaan-Nya (Mi 6:8). Adalah keadilan melibatkan penghukuman (Hab 1:12), tetapi keadilan juga memperlihatkan karya keselamatan Allah (1Yoh 1:9). Dengan demikian, keadilan Allah juga berarti kesetiaan-Nya terhadap umat perjanjian (Rom 1:17).[8] Dalam PL keadilan Allah sering kali disamakan dengan kesetiaan dan cinta-Nya yang teguh tidak goyah (Mi. 7:8-20), dan sangat erat hubungannya dengan belas kasih-Nya.[9]
Pengertian-pengertian keadilan dan kebenaran sangat dekat. Karena dalam TBI beberapa istilah Ibrani dan Yunani diterjemahkan dengan kedua istilah bh Indonesia ini, maka uraian di bawah ini disusun menurut kata-kata Ibrani dan Yunani.
1.      Misypat. Arti dasar kata ini ialah, bahwa ada cara yg benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Perangai atau tingkah laku ini dapat dipaksakan secara hukum. Proses menyatakan hak perseorangan ialah keadilan, dan jika seseorang melakukan kejahatan maka benarlah bahwa dia patut dihukum. Hak-hak Allah terungkap dalam undang-undang yang diberikan-Nya kepada manusia. Misypat berarti juga keputusan yang tepat yang diberikan mengenai masalah-masalah yang sukar, khususnya oleh Urim dan Tumim.
2.      Tsedaqa. Kata ini mempunyai aneka pengertian. Arti pertama agaknya ialah kelurusan secara harfiah. Tapi sudah sejak zaman Bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti rohani, yaitu sesuai dengan suatu ukuran yang diterima. Umpamanya hidup Yakub yang memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban, disebut tsedaqa (kejujuranku, Kej 30:33). Musa membicarakan neraca-neraca dan batu-batu timbangan yang betul (Kej 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15) – terjemahan tsedeq: ia menuntut supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yang adil (juga tsedeq), Ul 16:18,20. Pembicara pertama dalam suatu pertikaian nampaknya benar (tsadiq) sehingga orang lain menunjukkan kepalsuannya (Ams 18:17). Bahkan benda-benda mati bisa menjadi tsedeq, umpamanya: Mazm 23:3, jalan yg benar, yang berarti jalan-jalan yang bisa dijalani oleh seseorang.[10]

2.2.Hubungan Nabi dan Keadilan dalam Perjanjian Lama
Ketika bangsa Israel berada di perbudakan Mesir, mereka memiliki kedudukan yang rendah lebih rendah dari kedudukan masyarakat Mesir, yaitu sebagai budak. Namun ketika Allah membebaskan mereka dari Mesir maka kedudukan mereka menjadi lebih baik atau menjadi sama dengan orang Mesir sebagai orang-orang yang merdeka. Sebagai orang-orang yang merdeka maka merekapun pada akhirnya mendapatkan harta atau bagian tanah untuk mereka usahakan. Mereka menginginkan seorang Raja agar sama dengan bangsa-bangsa di sekitar mereka. Walaupun Samuel telah menjelaskan bahwa Raja dengan para perwiranya akan menjadi beban yang berat bagi mereka yang sebagai petani (1 Samuel 8:10-20). Akhirnya dipilihlah Saul sebagai Raja. Kemudian dia mengangkat para perwira-perwiranya dan begitulah selanjutnya dilakukan raja-raja selanjutnya di Israel. Maka dengan itu muncullah golongan baru dalam masyarakat Israel, yaitu golongan pemerintah yang harus ditanggung oleh rakyat biasa.[11]
Oleh perdagangan dengan luar negeri timbullah juga kaum pedagang, sehingga akhirnya terjadilah bermacam-macam golongan atau kelas-kelas dalam bangsa Israel, misalnya raja dan keluarganya yang boleh disebut golongan bangsawan, di samping itu golongan pegawai dan perwira-perwira yang seiring mendapat hadiah dari raja atau menjadi kaya oleh rampasan dalam peperangan. Sudah barang tentu kalau kaum pedagang merupakan golongan yang kuat dalam kehidupan ekonomi dan social.[12] Inilah cikal bakal munculnya atau terciptanya golongan-golongan dalam kehidupan masyarakat Israel. Dan dalam kaitanya dengan keadilan maka keadaan ini sangat besar pengarunya bagi praktek penindasan bagi orang-orang yang lemah atas mereka yang berkuasa, atau orang-orang yang berada terhadap orang-orang yang tidak memiliki apa-apa.
Dalam seluruh Alkitab disaksikan bahwa Allah terutama memusatkan perhatiaan-Nya kepada orang yang menderita, yang ditindas, sesak dan malang. Oleh karena penindasan terhadap orang-orang yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga aku bangkit, firman Tuhan; aku member keselamatan kepada orang yang menghauskannya (Mzm.12:6). Nabi yang paling mengecam ketidakadilan ini adalah Amos, Yesaya dan Mikha. Amos berasalal dari kerajaan Israel Selatan diutus untuk bernubuat di Israel Utara.[13] Keadaan bangsa Israel pada masa itu sangat berkembang di bawah pimpinan Yerobeam II. Ada orang yang mendirikan rumah-rumah yang indah dan menghiasinya dengan barang kesenian luar negeri. Tetapi kekayaan dan kemakmuran itu hanya dinikmati lapisan masyarakat yang tertinggi saja, padahal banyak orang menderita bukan karena bencana alam atau karena serangan musuh, melainkan karena diperas dan dianiaya oleh bangsanya sendiri (Am 2:6-8).[14]
Amos menegur Israel karena ketidakmampuan mereka untuk berbuat jujur (Am. 3:10). Sementara nabi menegaskan aspek-aspek batin dari hubungan perjanjian dengan Yahweh (termasuk mengasihi Allah dengan segenap hati dan menaati hukum-hukum-Nya), ia dengan jelas memahami implikasi-implikasi etis dari hubungan perjanjian dengan Yahweh untuk perilaku perseorangan dan perilaku bersama. Himbauannya yang bersemangat untuk masyarakat yang lemah (yang miskin, berkekurangan dan menderita – bnd. 2:6-7; 4:1; 5:11-12; 8:4,6) dan kritikannya bagi para penindas yang kaya raya (perempuan-perempuan kaya, pedagang-pedagang yang tidak jujur, penguasa-penguasa yang korup, para hakim dan ahli hukum yang oportunis dan imam-imam palsu – bnd. 4:1; 6;1,4; 7:8-9) membuat Amos memiliki reputasi sebagai pembicara Allah untuk keadilan social (bnd. 5:7, 15, 24; 6:12).[15] Amos menentang korupsi, perkosaan keadilan dan sebagainya sebagai nabi, yaitu atas nama Allah, atas dasar kepercayaannya kepada Allah yang adil dan menuntut keadilan. Dan akhirnya perkataan yang tajam dan keras, yang ditujukan kepada Israel dan pemimpinnya, tak dapat tidak didukung oleh cinta kepada umat ini dan oleh pergumulan dengan Allah, supaya Ia menunjukkan belas kasih-Nya kepada orang Israel (Am. 7:1-6).[16]
Nabi Yesaya dan nabi Mikha[17] hidup kurang lebih 150 tahun kemudian dari Amos. Pada masa itu kerajaan utara dibinasakan oleh raja Asyur, sementara itu kerajaan selatan (Yehuda), biarpun berulang-ulang diancam oleh lawannya yang dekat maupun yang jauh, masih dapat mempertahankan diri. Tetapi di hadapan mata para nabi terbayang nasib yang sama seperti telah dialami oleh kerajaan utara, karena di sinipun terjadi praktek-praktek ketidakadilan seperti pada zaman Amos. Para pemimpin Israel suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak-hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai pada mereka (Yes. 1:23). Hampir semua keluhan Nabi Mikha: “tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap, pembesar member putusan sekehendaknya dan hukum mereka putar balikkan. Orang yang terbaik di antara mereka adalah seperti tumbuhan duri, yang paling jujur di antara mereka seperti pagar duri; hari bagi pengintai-pengintaimu, hari penghukuman telah datang, sekarang akan mulai kegemparan di antara mereka (Mi. 7:3,4)[18]
Tuhan telah melimpahi umat-Nya dengan segala jenis berkat, tetapi mereka membalasnya dengan keangkuhan dan pemberontakan melulu. Yerusalem telah menjadi kubu ketidakadilan dan penindasan, sedang raja-raja Yehuda sedang main gila dengan kebijaksanaan mereka yang semakin gawat. Bagi Yesaya, dosa kesombongan ini nampaknya lebih memberatkan ketimbang dosa menyembah berhala. kecamannya terhadap kesalehan yang munafik adalah sejajar dengan pemberitaan Amos. Sama seperti Samaria dan segenap rakyat Israel Utara, maka Yerusalem dan Yehudapun akan terkena bencana.[19]
Dari sejak abad VIII nabi-nabi menuangkan beritanya dalam bentuk-bentuk yang terambil dari lapangan hukum, khususnya dari siding pengadilan. Di Israel biasanya perkara-perkara diadili di depan umum di lapangan terbuka, di dalam pintu-pintu gerbang yaitu di dalam batas desa atau kota. Pihak yang berkepentingan membawa perkara itu kepada hakim yang dipilih dari antara tua-tua menurut adat; imam dapat disertakan karena seluruh hukum berdasar atas kehendak Allah. Sering kali nabi-nabi membawa berita hukuman dalam bentuk tuduhan dan keputusan hakim seperti berikut: “oleh karena engkau telah berbuat demikian…., maka aku akan (bertindak) ….. dan engkau akan menderita (ini dan itu) . . . .” (bnd. ump. Amos 2:1-3; Yes. 8:5-8; Mi. 2:1-4).[20]
Sehingga kita dapat melihat hal-hal yang mengherankan dari penjelasan di atas, yaitu: keberanian para nabi yang tidak takut menghadapi orang yang berkuasa itu, melainkan dengan terus terang menyatakan kejahatan mereka, padahal para hakim yang seharusnya melindungi hak orang kecil, tidak berani menentang orang terkemuka itu. Teguran para nabi itu tidak disebabkan oleh keberanian yang luar biasa atau kesukaan untuk mengecam orang, melainkan karena dipanggil menjadi penyambung lidah bagi Tuhan. Hal lain yang menarik ialah adalah kekerasan hati orang yang mendengar suara Tuhan dengan perantaraan para nabi. Rupanya mereka telah digelapkan oleh dosa, begitu gila hormat, pangkat dan kekayaan, sehingga tidak dapat memikirkan sesuatu yang lain kecuali kepentingan diri sendiri saja.[21]
III.             Refleksi Teologis
Suara kenabian itu perlu didengarkan kembali! Suara kenabian, yang menyuarakan kepedulian Allah terhadapa manusia. Suara nabi yang memproklamasikan suara hati nurani yang jujur, tulus, berani.  Zaman kita adalah zaman pembangunan, yang sekaligus bisa menjadi berkat dan kutuk. Berkat, bila pembangunan dilihat sebagai karunia dari Pencipta demi kebahagiaan hidup bersama. Kutuk, bila pembangunan akhirnya menumbuhkan kesombongan bagi manusia yang merasa bisa hidup berkecukupan, tanpa mempedulikan kebutuhan sesama! Suara nabi yang menyampaikan pesan iman dan keterlibatan social, perlu didengar kembali.
Zaman kita adalah zaman sekular. Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, pengaruh sekular itu meresapi benak banyak orang. Kepekaan moral, mentalitas aji mumpung, entah karena sedang berkuasa, atau karena sedang ada kesempatan, mencukupi diri sendiri dengan seribu satu dalih untuk kepentingan bersama, perlu dijernihkan kembali perspektif dan dimensinya. Hati yang jujur harus dibiarkan berbicara lagi, keterlibatan akan sesama sebagai janji suci harus didorong untuk berkembang, hidup iman yang relevan harus dipupuk, sehingga kehidupan beragama menjadi cermin ketulusan hati manusia, dan bukan karena fanatisme melakukan adat atau budaya – yang bisa menjadikan orang biadab dan berbahaya - melainkan karena menyadari sapaan Illahi yang meminta hidup ini dijadikan bernilai. Mengenali pesan dan jiwa kenabian adalah untuk memupuk mentalitas yang benar dalam percaturan hidup bersama ini.[22]
Sebagai Israel yang baru di zaman modern saat ini, kehidupan manusia telah terlanjur sangat bebas. Kebebasan manusia – yang adalah anugrah Tuhan sendiri kepada ciptaan-Nya – telah menjadi sebuah momok yang menakutkan dalam menciptakan sebuah hidup yang berlandaskan pada keadilan. Kebebasan untuk hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan untuk memilih, kebebasan untuk memiliki dan lain sebagainya seakan-akan memacu orang-orang untuk tidak memperdulikan sesamanya lagi. Kehidupan manusia pada zaman seperti ini pada akhirnya memacu menusia untuk hidup pragmatis.
Uang atau materi, jabatan dan nama baik, menjadi sebuah tolok ukur hidup manusia pada zaman saat ini. Untuk meraih ini, segala cara akan dilakukan walaupun bertentangan dengan keadilan. Pelanggaran hukum, korupsi, penindasan pada rakyat kecil dapat dikatakan menjadi wajah dunia – khususnya Indonesia – saat ini. Ketidakadilan hukum, para hakim, jaksa dan para penegak hukum lainnya yang dengan mudah dapat diatur oleh para orang-orang yang beruang seakan-akan menjadi sebuah kewajaran. Tidak jauh berbeda dengan bangsa Israel pada zaman nabi-nabi tersebut.
Oleh sebab itu dunia pada saat ini sangat kehausan akan suara-suara nabi yang membawa manusia dan menunjukkan bahwa dunia diciptakan bukanlah untuk hal-hal tersebut. Kita sangat membutuhkan nabi Amos yang baru yang menyerukan bahwa Allah akan menghukum dunia ini apabila dunia ini tidak lagi dapat hidup adil. Hukum kasih Yesus yang diajarkan kepada kita, itulah yang seharusnya menjadi tolok ukur hidup di dunia ini.  
IV.             Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa nabi itu sangat berhubungan erat dengan keadilan di dunia ini. Ketidakadilan timbul pada dasarnya diakibatkan oleh perbedaan khusunya perbedaan status hidup. Ketidakadilan yang berlangsung di Israel pada dasarnya berawal setelah mereka mulai menimbulkan perbedaan derajat hidup dalam kehidupan mereka. Dan dalam kaitan ini, nabi sangat keras menentang keadaan ini. Nabi yang sangat nyata menentang praktek ini – yaitu ketidakadilan social, polotik dan ekonomi – dalam PL adalah nabi Amos. Yesaya dan Mikha. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa Allah tidak berkenan dengan perbuatan mereka.
V.                Daftar Pustaka
Barth,C., Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta: BPK-GM, 2009
Bolland,B.J., Tafsiran Alkitab Amos, Jakarta: BPK-GM, 2011
Browning,W.R.F., Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2010
Darmawijaya, Warta Nabi Abad VIII, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Douglas, J. D. pny, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008
Heuken, Adolf, Ensiklopedi Gereja Jilid II H-Konp, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1992
Hill, Andrew E. & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas2008
Marie-Claire Barth –Frommel, Tafsiran Alkitab Yesaya Pasal 40-55, Jakarta: BPK-GM, 2011
O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius, 1996
Rothlisberger, H., Firman-Ku Seperti Api Para Nabi Israel, Jakarta:BPK-GM, 2010
Sparks, T. Austin, Pelayanan Nubuatan, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2002
Tim Penyusun KBBI Edisi I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Tjandra,Lukas, Latar Belakang Perjanjian Baru I, Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1994


[1] Selain itu masih ada dua istilah bahasa Ibrani yaitu Roeh dan Chozeh, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pelihat ” yang juga mempunyai arti yang sama dengan nabi (bnd. I Sam 9:9). Istilah pelihat member indikasi bahwa nabi dapat melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain, bisa memakai mata rohaninya yang jeli untuk menerobos ke masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Suatu kemampuan yang bukan diperoleh dari latihan, melainkan sebagai talenta supraalami yang dianugrahkan oleh Allah.
(Lih: Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru I, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1994), 2)
[2] J.A. Motyer, Nubuat, Nabi-nabi dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, pny: J.D. Douglas, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2008), 163
[3] Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru I, 2-3
[4] Pekerjaan pokok dan berita yang disampaikan oleh para nabi Perjanjian Lama mencakup 3 segi:
Ø     Sebagai orang yang memberitakan firman pada zamannya.
Ø     Sebagai orang yang menguraikan dan menjelaskan masa silam
Ø     Sebagai orang yang menubuatkan masa yang akan datang.
Dengan kata lain, selainkan mereka harus menunjukkan pengajaran yang mereka peroleh dari masa silam dan tugas mereka sekarang, mereka juga harus mengarahkan perhatian umat untuk masa yang akan datang.
(bnd. Lukas Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru I,6)
[5] T. Austin Sparks, Pelayanan Nubuatan (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2002), vii-ix
[6] Tim Penyusun KBBI Edisi I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 7
[7] Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi Gereja Jilid II H-Konp, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1992), 219
[8] W.R.F. Browning, Kamus Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 4
[9] Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 132
[10] J.B. Payne, Adil, Keadilan dan Kebenaran dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I, 11
[11] Lih. H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api Para Nabi Israel (Jakarta:BPK-GM, 2010), 27
[12] Ibid, 28
[13] Kemurtadan rohani, keruntuhan baik di bidang moral dan social, serta kemerosotan politik kerajaan utara menyebabkan Allah mengutus Amos dari Yehuda untuk menyeberangi perbatasan dan bernubuat di Betel di kawasan Israel. Berita dasar dari gembala pengkotbah ini kepada Yerobeam II dan Israel adalah bahwa “kesudahan telah tiba bagi umatku”. Penyataan Amos melawan imam palsu Amazia menggambarkan ringkasan dari firman hukuman yang ditujukan oleh nabi pada seluruh bangsa.
(Andrew E. Hill & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas2008), 613)
[14] H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api, 30
[15] Andrew E. Hill & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, 617
[16] B.J. Bolland, Tafsiran Alkitab Amos, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 59
[17] Tuhan mengutus Mikha pada masa yang sangat kritis dengan sebuah pesan bagi umat-Nya. Ini merupakan masa pergolakan politis dan kerusuhan social. Keberhasilan besar Raja Uzia di bidang militer pada paruh pertama dari abad VIII SM sudah berkembang menjadi masa kemakmuran ekonomi – bagi beberapa orang. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi terjadi pula perkembangan golongan pedagang di Israel dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sebelumnya tidak pernah ada. Sekarang golongan petani dalam masyarakat sering kali mendapatkan dirinya dalam kekuasaan para pedagang, yang tampaknya mendapat dukungan dari pihak raja. Keadilan dalam dunia perdagangan segera saja menjadi pengecualian dan bukannya kebiasaan. Dengan latar belakang social seperti inilah Mikha mencela ketidakadilan dan keberagamaan yang palsu.
(Lih. Andrew E. Hill & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, 645)
[18] H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api, 33-34
[19] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 58
[20] Marie-Claire Barth –Frommel, Tafsiran Alkitab Yesaya Pasal 40-55, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 22
[21] H. Rothlisberger, Firman-Ku Seperti Api,  35-36
[22] Darmawijaya, Warta Nabi Abad VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 8-9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar