Nabi dan Keadilan dalam Perspektif
Perjanjian Lama
I.
Pendahuluan
Nabi dan keadilan pada dasarnya
adalah sejalan. Pada umumnya Allah mengutus nabi-Nya ke dunia ini oleh karena
adanya ketidakadilan dalam umat-Nya (kecuali nabi Yunus). Misalnya
ketidakadilan dalam aspek sosial, politik, ekonomi, keagamaan (rohani/ibadah),
dll. Namun yang paling saya soroti dalam sajian ini adalah khusus dalam bidang social,
politik dan ekonomi yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel. Bagaimana peran
nabi dalam menghadapi persoalan keadilan di tengah-tengah bangsa Israel? Inilah
yang akan kita bahas dalam sajian kali ini, semoga sajian ini dapat membantu
kita untuk memahaminya.
II.
Pembahasan
2.1. Nabi dan Keadilan
2.1.1.
Nabi
Dua istilah umum
dipakai untuk para nabi. Pertama, abdi Allah menggambarkan bagaimana mereka
dilihat oleh sesamanya manusia. Gelar ini untuk pertama kali dipakai bagi Musa
(Ul 33:1) dan terus dipakai hingga akhir zaman raja-raja (1Sam 2:27; 9:6; 1Raj
13:1). Bahwa gelar itu bermaksud mengungkapkan perbedaan sifat antara nabi dan
orang lain gamblang dijelaskan oleh perempuan Sunem: ‘Sesungguhnya aku sudah
tahu bahwa orang yang selalu datang kepada kita itu adalah abdi Allah yang
kudus’ (2Raj 4:9). Gelar umum yang lain ialah ‘hamba-Nya, hamba-Mu’, atau
‘hamba-Ku’. Nampaknya orang tidak menyapa nabi sebagai ‘hamba Allah’, tapi
Allah sering menyebut nabi sebagai ‘hamba-Ku’ dan sebagai akibatnya kata-kata
ganti
Ada tiga kata Ibrani yang
dipakai untuk nabi: navi’, ro’eh, dan khozeh.[1] Yang
pertama senantiasa diterjemahkan ‘nabi’, yang kedua, dalam bentuknya, adalah
bentuk aktif dari kata kerja ‘melihat’, diterjemahkan ‘pelihat’. Yang ketiga
juga bentuk aktif dari kata kerja lain ‘melihat’, yang juga diterjemahkan
‘pelihat’ (1Taw 29:29; Yes 30:10).[2]
Istilah nabi dalam Perjanjian
Lama berasal dari kata kerja Naba yang
berarti memancar bagaikan sumber. Maksudnya adalah bahwa orang tersebut
digerakkan oleh Roh Kudus, sehingga firman Allah akan mengalir bagaikan pancara
hidup, menyingkapkan rahasia-rahasia rohani. Sebab tidak pernah nubuat
dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang
berbicara atas nama Allah. Istilah nabi muncul pertama kali di Perjanjian Lama
dalam Kej. 20:7, yang mengacu pada Abraham, yang kemudian muncul lagi dalam
Kej.7:1 yang menyebut Harun sebagai nabi bagi Musa. Sebab itu, selain nabi yang
terdapat pada Kitab Para Nabi, masih terdapat banyak nabi, seperti Musa, (Ul.
34:10), Samuel (I sam. 3:20), Natan, Elia, Elisa dan nabi-nabi yang lain.[3]
Leonard Ravenhil
mengatakan bahwa “seorang nabi diterima sepenuhnya oleh Allah dan ditolak
sepenuhnya oleh manusia pada masanya. Seorang nabi datang untuk meluruskan
hal-hal yang menyimpang. Tuigasnya adalah memanggil mereka yang memberontak
untuk kembali taat. Ia tidak disukai karena dia menentang mereka yang popular
dalam moralitas dan kerohanian. Fungsi seorang nabi adalah selalu untuk
pemulihan.
Nabi adalah
penyelidik-Nya yang mencari harta terpendam. Tingkat efektivitasnya ditentukan
oleh ukuran ketidakpopulerannya. Kata kompromi tidak dikenalnya. Ia tidak
memasang harga. Ia sepenuhnya “hidup dalam dunia lain”. Ia sangat controversial
dan menentang tanpa ampun. Ia bergerak menurut tuntutan yang berbeda. Ia
menyampaikan wahyu yang sangat penting.[4] Ia
adalah seorang penglihat yang datang untuk menuntun mereka yang buta. Ia
tinggal digunung-gunung Allah yang tinggi dan turun ke dalam lembah dengan
mengatakan “inilah Firman Tuhan”. Ia mengambil bagian dalam beberapa hal yang
direncanakan Allah sehingga ia mengetahui bencana yang akan datang. Ia hidup
dalam pengasingan penuh. Ia tulus dan terus terang, tetapi ia tidak menuntut
haknya. Nubuat-nubuatnya ditentang. Kebenaran yang disampaikannya menyiksa,
tetapi suaranya tidak pernah sia-sia. Ia dipandang hina pada zamannya tetapi
menjadi pahlawan di masa depan. Ia dijauhi selama hidupnya dan dipuji ketika ia
sudah mati. Ia menentang kedudukan dalam pelayanan; kemudian ia diangkat
sebagai orang kudus oleh penerusnya. Ia adalah cambuk bagi bangsa sebelum ia
dicambuk oleh bangsa. Ia berhadapan dengan Allah sebelum ia berhadapan dengan
manusia, tetapi ia tidak meninggikan dirinya sendiri.[5]
2.1.2.
Keadilan
Dalam KBBI adil adalah tidak berat
sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang
benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; dan tidak sewenang-wenang.
Sedangkan keadilan adalah sefat (perbuatan, perlakuan, dsb) yang adil.[6]
Secara objektif keadilan merupakan prinsip dasar yang mengatur seluruh kehidupa
social, baik antrara orang perorangan maupun atara orang dan masyarakat dan
pula di antara Negara-negara. Sedangkan secara subyektif keadilan adalah sikap
seseorang terhadap sesama manusia, yaitu tekad memberi apa yang menjadi hak
orang/kelompok lain tidak kurang dan tidak lebih.[7]
Menurut Browning dalam Kamus
Alkitab, adil adalah salah satu sifat Allah (Mzm 89:13), yang dikejar oleh
ciptaan-Nya (Mi 6:8). Adalah keadilan melibatkan penghukuman (Hab 1:12), tetapi
keadilan juga memperlihatkan karya keselamatan Allah (1Yoh 1:9). Dengan
demikian, keadilan Allah juga berarti kesetiaan-Nya terhadap umat perjanjian
(Rom 1:17).[8]
Dalam PL keadilan Allah sering kali disamakan dengan kesetiaan dan cinta-Nya
yang teguh tidak goyah (Mi. 7:8-20), dan sangat erat hubungannya dengan belas
kasih-Nya.[9]
Pengertian-pengertian keadilan dan
kebenaran sangat dekat. Karena dalam TBI beberapa istilah Ibrani dan Yunani
diterjemahkan dengan kedua istilah bh Indonesia ini, maka uraian di bawah ini
disusun menurut kata-kata Ibrani dan Yunani.
1. Misypat.
Arti dasar kata ini ialah, bahwa ada cara yg benar bagi seseorang untuk
membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Perangai
atau tingkah laku ini dapat dipaksakan secara hukum. Proses menyatakan hak
perseorangan ialah keadilan, dan jika seseorang melakukan kejahatan maka
benarlah bahwa dia patut dihukum. Hak-hak Allah terungkap dalam undang-undang yang
diberikan-Nya kepada manusia. Misypat berarti juga keputusan yang tepat yang
diberikan mengenai masalah-masalah yang sukar, khususnya oleh Urim dan Tumim.
2. Tsedaqa.
Kata ini mempunyai aneka pengertian. Arti pertama agaknya ialah kelurusan
secara harfiah. Tapi sudah sejak zaman Bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti
rohani, yaitu sesuai dengan suatu ukuran yang diterima. Umpamanya hidup Yakub
yang memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban, disebut
tsedaqa (kejujuranku, Kej 30:33). Musa membicarakan neraca-neraca dan batu-batu
timbangan yang betul (Kej 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15) – terjemahan
tsedeq: ia menuntut supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yang
adil (juga tsedeq), Ul 16:18,20. Pembicara pertama dalam suatu pertikaian
nampaknya benar (tsadiq) sehingga orang lain menunjukkan kepalsuannya (Ams
18:17). Bahkan benda-benda mati bisa menjadi tsedeq, umpamanya: Mazm 23:3,
jalan yg benar, yang berarti jalan-jalan yang bisa dijalani oleh seseorang.[10]
2.2.Hubungan Nabi dan
Keadilan dalam Perjanjian Lama
Ketika bangsa Israel berada di
perbudakan Mesir, mereka memiliki kedudukan yang rendah lebih rendah dari
kedudukan masyarakat Mesir, yaitu sebagai budak. Namun ketika Allah membebaskan
mereka dari Mesir maka kedudukan mereka menjadi lebih baik atau menjadi sama
dengan orang Mesir sebagai orang-orang yang merdeka. Sebagai orang-orang yang
merdeka maka merekapun pada akhirnya mendapatkan harta atau bagian tanah untuk
mereka usahakan. Mereka menginginkan seorang Raja agar sama dengan
bangsa-bangsa di sekitar mereka. Walaupun Samuel telah menjelaskan bahwa Raja
dengan para perwiranya akan menjadi beban yang berat bagi mereka yang sebagai
petani (1 Samuel 8:10-20). Akhirnya dipilihlah Saul sebagai Raja. Kemudian dia
mengangkat para perwira-perwiranya dan begitulah selanjutnya dilakukan
raja-raja selanjutnya di Israel. Maka dengan itu muncullah golongan baru dalam
masyarakat Israel, yaitu golongan pemerintah yang harus ditanggung oleh rakyat
biasa.[11]
Oleh perdagangan dengan luar negeri
timbullah juga kaum pedagang, sehingga akhirnya terjadilah bermacam-macam
golongan atau kelas-kelas dalam bangsa Israel, misalnya raja dan keluarganya
yang boleh disebut golongan bangsawan, di samping itu golongan pegawai dan
perwira-perwira yang seiring mendapat hadiah dari raja atau menjadi kaya oleh
rampasan dalam peperangan. Sudah barang tentu kalau kaum pedagang merupakan
golongan yang kuat dalam kehidupan ekonomi dan social.[12]
Inilah cikal bakal munculnya atau terciptanya golongan-golongan dalam kehidupan
masyarakat Israel. Dan dalam kaitanya dengan keadilan maka keadaan ini sangat
besar pengarunya bagi praktek penindasan bagi orang-orang yang lemah atas
mereka yang berkuasa, atau orang-orang yang berada terhadap orang-orang yang
tidak memiliki apa-apa.
Dalam seluruh Alkitab disaksikan
bahwa Allah terutama memusatkan perhatiaan-Nya kepada orang yang menderita,
yang ditindas, sesak dan malang. Oleh karena penindasan terhadap orang-orang
yang lemah, oleh karena keluhan orang-orang miskin, sekarang juga aku bangkit,
firman Tuhan; aku member keselamatan kepada orang yang menghauskannya
(Mzm.12:6). Nabi yang paling mengecam ketidakadilan ini adalah Amos, Yesaya dan
Mikha. Amos berasalal dari kerajaan Israel Selatan diutus untuk bernubuat di
Israel Utara.[13]
Keadaan bangsa Israel pada masa itu sangat berkembang di bawah pimpinan
Yerobeam II. Ada orang yang mendirikan rumah-rumah yang indah dan menghiasinya
dengan barang kesenian luar negeri. Tetapi kekayaan dan kemakmuran itu hanya
dinikmati lapisan masyarakat yang tertinggi saja, padahal banyak orang
menderita bukan karena bencana alam atau karena serangan musuh, melainkan
karena diperas dan dianiaya oleh bangsanya sendiri (Am 2:6-8).[14]
Amos menegur Israel karena
ketidakmampuan mereka untuk berbuat jujur (Am. 3:10). Sementara nabi menegaskan
aspek-aspek batin dari hubungan perjanjian dengan Yahweh (termasuk mengasihi
Allah dengan segenap hati dan menaati hukum-hukum-Nya), ia dengan jelas
memahami implikasi-implikasi etis dari hubungan perjanjian dengan Yahweh untuk
perilaku perseorangan dan perilaku bersama. Himbauannya yang bersemangat untuk
masyarakat yang lemah (yang miskin, berkekurangan dan menderita – bnd. 2:6-7;
4:1; 5:11-12; 8:4,6) dan kritikannya bagi para penindas yang kaya raya
(perempuan-perempuan kaya, pedagang-pedagang yang tidak jujur,
penguasa-penguasa yang korup, para hakim dan ahli hukum yang oportunis dan
imam-imam palsu – bnd. 4:1; 6;1,4; 7:8-9) membuat Amos memiliki reputasi
sebagai pembicara Allah untuk keadilan social (bnd. 5:7, 15, 24; 6:12).[15]
Amos menentang korupsi, perkosaan keadilan dan sebagainya sebagai nabi, yaitu
atas nama Allah, atas dasar kepercayaannya kepada Allah yang adil dan menuntut
keadilan. Dan akhirnya perkataan yang tajam dan keras, yang ditujukan kepada
Israel dan pemimpinnya, tak dapat tidak didukung oleh cinta kepada umat ini dan
oleh pergumulan dengan Allah, supaya Ia menunjukkan belas kasih-Nya kepada
orang Israel (Am. 7:1-6).[16]
Nabi Yesaya dan nabi Mikha[17]
hidup kurang lebih 150 tahun kemudian dari Amos. Pada masa itu kerajaan utara
dibinasakan oleh raja Asyur, sementara itu kerajaan selatan (Yehuda), biarpun
berulang-ulang diancam oleh lawannya yang dekat maupun yang jauh, masih dapat
mempertahankan diri. Tetapi di hadapan mata para nabi terbayang nasib yang sama
seperti telah dialami oleh kerajaan utara, karena di sinipun terjadi
praktek-praktek ketidakadilan seperti pada zaman Amos. Para pemimpin Israel
suka menerima suap dan mengejar sogok. Mereka tidak membela hak-hak anak-anak
yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai pada mereka (Yes. 1:23). Hampir
semua keluhan Nabi Mikha: “tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka
menuntut, hakim dapat disuap, pembesar member putusan sekehendaknya dan hukum
mereka putar balikkan. Orang yang terbaik di antara mereka adalah seperti
tumbuhan duri, yang paling jujur di antara mereka seperti pagar duri; hari bagi
pengintai-pengintaimu, hari penghukuman telah datang, sekarang akan mulai
kegemparan di antara mereka (Mi. 7:3,4)[18]
Tuhan telah melimpahi umat-Nya
dengan segala jenis berkat, tetapi mereka membalasnya dengan keangkuhan dan
pemberontakan melulu. Yerusalem telah menjadi kubu ketidakadilan dan
penindasan, sedang raja-raja Yehuda sedang main gila dengan kebijaksanaan
mereka yang semakin gawat. Bagi Yesaya, dosa kesombongan ini nampaknya lebih
memberatkan ketimbang dosa menyembah berhala. kecamannya terhadap kesalehan
yang munafik adalah sejajar dengan pemberitaan Amos. Sama seperti Samaria dan
segenap rakyat Israel Utara, maka Yerusalem dan Yehudapun akan terkena bencana.[19]
Dari sejak abad VIII nabi-nabi
menuangkan beritanya dalam bentuk-bentuk yang terambil dari lapangan hukum,
khususnya dari siding pengadilan. Di Israel biasanya perkara-perkara diadili di
depan umum di lapangan terbuka, di dalam pintu-pintu gerbang yaitu di dalam
batas desa atau kota. Pihak yang berkepentingan membawa perkara itu kepada
hakim yang dipilih dari antara tua-tua menurut adat; imam dapat disertakan
karena seluruh hukum berdasar atas kehendak Allah. Sering kali nabi-nabi
membawa berita hukuman dalam bentuk tuduhan dan keputusan hakim seperti
berikut: “oleh karena engkau telah berbuat demikian…., maka aku akan
(bertindak) ….. dan engkau akan menderita (ini dan itu) . . . .” (bnd. ump. Amos
2:1-3; Yes. 8:5-8; Mi. 2:1-4).[20]
Sehingga kita dapat melihat hal-hal
yang mengherankan dari penjelasan di atas, yaitu: keberanian para nabi yang
tidak takut menghadapi orang yang berkuasa itu, melainkan dengan terus terang
menyatakan kejahatan mereka, padahal para hakim yang seharusnya melindungi hak
orang kecil, tidak berani menentang orang terkemuka itu. Teguran para nabi itu
tidak disebabkan oleh keberanian yang luar biasa atau kesukaan untuk mengecam
orang, melainkan karena dipanggil menjadi penyambung lidah bagi Tuhan. Hal lain
yang menarik ialah adalah kekerasan hati orang yang mendengar suara Tuhan
dengan perantaraan para nabi. Rupanya mereka telah digelapkan oleh dosa, begitu
gila hormat, pangkat dan kekayaan, sehingga tidak dapat memikirkan sesuatu yang
lain kecuali kepentingan diri sendiri saja.[21]
III.
Refleksi
Teologis
Suara kenabian itu perlu
didengarkan kembali! Suara kenabian, yang menyuarakan kepedulian Allah
terhadapa manusia. Suara nabi yang memproklamasikan suara hati nurani yang
jujur, tulus, berani. Zaman kita adalah
zaman pembangunan, yang sekaligus bisa menjadi berkat dan kutuk. Berkat, bila
pembangunan dilihat sebagai karunia dari Pencipta demi kebahagiaan hidup
bersama. Kutuk, bila pembangunan akhirnya menumbuhkan kesombongan bagi manusia
yang merasa bisa hidup berkecukupan, tanpa mempedulikan kebutuhan sesama! Suara
nabi yang menyampaikan pesan iman dan keterlibatan social, perlu didengar
kembali.
Zaman kita adalah zaman sekular.
Mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, pengaruh sekular itu meresapi benak
banyak orang. Kepekaan moral, mentalitas aji
mumpung, entah karena sedang berkuasa,
atau karena sedang ada kesempatan, mencukupi diri sendiri dengan seribu
satu dalih untuk kepentingan bersama, perlu dijernihkan kembali perspektif dan
dimensinya. Hati yang jujur harus dibiarkan berbicara lagi, keterlibatan akan
sesama sebagai janji suci harus didorong untuk berkembang, hidup iman yang
relevan harus dipupuk, sehingga kehidupan beragama menjadi cermin ketulusan
hati manusia, dan bukan karena fanatisme melakukan adat atau budaya – yang bisa
menjadikan orang biadab dan berbahaya - melainkan karena menyadari sapaan
Illahi yang meminta hidup ini dijadikan bernilai. Mengenali pesan dan jiwa
kenabian adalah untuk memupuk mentalitas yang benar dalam percaturan hidup
bersama ini.[22]
Sebagai Israel yang baru di zaman
modern saat ini, kehidupan manusia telah terlanjur sangat bebas. Kebebasan
manusia – yang adalah anugrah Tuhan sendiri kepada ciptaan-Nya – telah menjadi
sebuah momok yang menakutkan dalam menciptakan sebuah hidup yang berlandaskan
pada keadilan. Kebebasan untuk hidup, kebebasan berpendapat, kebebasan untuk
memilih, kebebasan untuk memiliki dan lain sebagainya seakan-akan memacu
orang-orang untuk tidak memperdulikan sesamanya lagi. Kehidupan manusia pada
zaman seperti ini pada akhirnya memacu menusia untuk hidup pragmatis.
Uang atau materi, jabatan dan nama
baik, menjadi sebuah tolok ukur hidup manusia pada zaman saat ini. Untuk meraih
ini, segala cara akan dilakukan walaupun bertentangan dengan keadilan.
Pelanggaran hukum, korupsi, penindasan pada rakyat kecil dapat dikatakan
menjadi wajah dunia – khususnya Indonesia – saat ini. Ketidakadilan hukum, para
hakim, jaksa dan para penegak hukum lainnya yang dengan mudah dapat diatur oleh
para orang-orang yang beruang seakan-akan menjadi sebuah kewajaran. Tidak jauh
berbeda dengan bangsa Israel pada zaman nabi-nabi tersebut.
Oleh sebab itu dunia pada saat ini
sangat kehausan akan suara-suara nabi yang membawa manusia dan menunjukkan
bahwa dunia diciptakan bukanlah untuk hal-hal tersebut. Kita sangat membutuhkan
nabi Amos yang baru yang menyerukan bahwa Allah akan menghukum dunia ini
apabila dunia ini tidak lagi dapat hidup adil. Hukum kasih Yesus yang diajarkan
kepada kita, itulah yang seharusnya menjadi tolok ukur hidup di dunia ini.
IV.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
nabi itu sangat berhubungan erat dengan keadilan di dunia ini. Ketidakadilan
timbul pada dasarnya diakibatkan oleh perbedaan khusunya perbedaan status
hidup. Ketidakadilan yang berlangsung di Israel pada dasarnya berawal setelah
mereka mulai menimbulkan perbedaan derajat hidup dalam kehidupan mereka. Dan
dalam kaitan ini, nabi sangat keras menentang keadaan ini. Nabi yang sangat
nyata menentang praktek ini – yaitu ketidakadilan social, polotik dan ekonomi –
dalam PL adalah nabi Amos. Yesaya dan Mikha. Mereka dengan tegas menyatakan
bahwa Allah tidak berkenan dengan perbuatan mereka.
V.
Daftar
Pustaka
Barth,C.,
Theologia Perjanjian Lama 4, Jakarta:
BPK-GM, 2009
Bolland,B.J., Tafsiran
Alkitab Amos, Jakarta: BPK-GM, 2011
Browning,W.R.F., Kamus
Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2010
Darmawijaya, Warta
Nabi Abad VIII, Yogyakarta: Kanisius, 1990
Douglas, J. D. pny, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II, Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2008
Heuken, Adolf, Ensiklopedi
Gereja Jilid II H-Konp, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1992
Hill, Andrew E. & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, (Malang: Gandum
Mas2008
Marie-Claire Barth –Frommel, Tafsiran Alkitab Yesaya Pasal 40-55, Jakarta: BPK-GM, 2011
O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,
1996
Rothlisberger, H., Firman-Ku Seperti Api Para Nabi Israel, Jakarta:BPK-GM, 2010
Sparks, T. Austin, Pelayanan Nubuatan, Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2002
Tim Penyusun KBBI Edisi I, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991
Tjandra,Lukas,
Latar Belakang Perjanjian Baru I, Malang:
Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1994
[1] Selain itu masih ada dua istilah bahasa Ibrani yaitu Roeh dan Chozeh, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi “pelihat
” yang juga mempunyai arti yang sama dengan nabi (bnd. I Sam 9:9). Istilah
pelihat member indikasi bahwa nabi dapat melihat sesuatu yang tidak terlihat
oleh orang lain, bisa memakai mata rohaninya yang jeli untuk menerobos ke masa
lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Suatu kemampuan yang bukan
diperoleh dari latihan, melainkan sebagai talenta supraalami yang dianugrahkan
oleh Allah.
(Lih: Lukas
Tjandra, Latar Belakang Perjanjian Baru
I, (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1994), 2)
[2] J.A. Motyer, Nubuat,
Nabi-nabi dalam Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini Jilid II, pny: J.D. Douglas, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina
Kasih, 2008), 163
[3] Lukas Tjandra, Latar Belakang
Perjanjian Baru I, 2-3
[4] Pekerjaan pokok dan berita yang disampaikan oleh para nabi
Perjanjian Lama mencakup 3 segi:
Ø
Sebagai orang yang memberitakan
firman pada zamannya.
Ø
Sebagai orang yang menguraikan
dan menjelaskan masa silam
Ø
Sebagai orang yang menubuatkan
masa yang akan datang.
Dengan kata lain, selainkan mereka harus menunjukkan pengajaran yang
mereka peroleh dari masa silam dan tugas mereka sekarang, mereka juga harus
mengarahkan perhatian umat untuk masa yang akan datang.
(bnd. Lukas Tjandra, Latar
Belakang Perjanjian Baru I,6)
[5] T. Austin Sparks, Pelayanan
Nubuatan (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel, 2002), vii-ix
[6] Tim Penyusun KBBI Edisi I, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 7
[7] Adolf Heuken SJ, Ensiklopedi
Gereja Jilid II H-Konp, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1992), 219
[8] W.R.F. Browning, Kamus
Alkitab, (Jakarta: BPK-GM, 2010), 4
[9] Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 132
[10] J.B. Payne, Adil, Keadilan
dan Kebenaran dalam Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid I, 11
[11] Lih. H. Rothlisberger, Firman-Ku
Seperti Api Para Nabi Israel (Jakarta:BPK-GM, 2010), 27
[12] Ibid, 28
[13] Kemurtadan rohani, keruntuhan baik di bidang moral dan social,
serta kemerosotan politik kerajaan utara menyebabkan Allah mengutus Amos dari
Yehuda untuk menyeberangi perbatasan dan bernubuat di Betel di kawasan Israel.
Berita dasar dari gembala pengkotbah ini kepada Yerobeam II dan Israel adalah
bahwa “kesudahan telah tiba bagi umatku”. Penyataan Amos melawan imam palsu
Amazia menggambarkan ringkasan dari firman hukuman yang ditujukan oleh nabi
pada seluruh bangsa.
(Andrew
E. Hill & john H. Walton, Survei
Perjanjian Lama, (Malang: Gandum Mas2008), 613)
[14] H. Rothlisberger, Firman-Ku
Seperti Api, 30
[15] Andrew E. Hill & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, 617
[16] B.J. Bolland, Tafsiran
Alkitab Amos, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 59
[17] Tuhan mengutus Mikha pada masa yang sangat kritis dengan sebuah
pesan bagi umat-Nya. Ini merupakan masa pergolakan politis dan kerusuhan social.
Keberhasilan besar Raja Uzia di bidang militer pada paruh pertama dari abad
VIII SM sudah berkembang menjadi masa kemakmuran ekonomi – bagi beberapa orang.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi terjadi pula perkembangan golongan pedagang
di Israel dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang sebelumnya tidak pernah
ada. Sekarang golongan petani dalam masyarakat sering kali mendapatkan dirinya
dalam kekuasaan para pedagang, yang tampaknya mendapat dukungan dari pihak
raja. Keadilan dalam dunia perdagangan segera saja menjadi pengecualian dan
bukannya kebiasaan. Dengan latar belakang social seperti inilah Mikha mencela
ketidakadilan dan keberagamaan yang palsu.
(Lih. Andrew E. Hill & john H. Walton, Survei Perjanjian Lama, 645)
[18] H. Rothlisberger, Firman-Ku
Seperti Api, 33-34
[19] C. Barth, Theologia
Perjanjian Lama 4, (Jakarta: BPK-GM, 2009), 58
[20] Marie-Claire Barth –Frommel, Tafsiran
Alkitab Yesaya Pasal 40-55, (Jakarta: BPK-GM, 2011), 22
[21] H. Rothlisberger, Firman-Ku
Seperti Api, 35-36
[22] Darmawijaya, Warta Nabi Abad
VIII, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 8-9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar